Sabtu, 21 Agustus 2010

Penatalaksanaan Penyakit Stroke Iskemik Trombus Akibat Aterosklerosis

BAB I
I. PENDAHULUAN
I.1 Latar belakang
Stroke adalah penyakit otak yang paling destruktif dengan konsekuensi berat, termasuk beban psikologis, fisik, dan keuangan yang besar pada pasien, keluarga, dan masyarakat. Pada kenyataannya, banyak orang yang lebih takut akan menjadi cacat oleh stroke dibanding dengan kematian itu sendiri. Jika tidak ada metode-metode pencegahan yang ada sekarang, jumlah stroke dan korban stroke akan tumbuh pesat dalam beberapa dekade mendatang12.
Stroke dapat menyerang kapan saja, mendadak, siapa saja, baik laki-laki atau perempuan, tua atau muda. Diperkirakan satu sampai tiga orang akan mengalami stroke dan satu dari tujuh orang meninggal karena stroke. Insiden stroke timbul bervariasi, tergantung tempat atau negara, waktu, serta penderitanya. Insiden stroke di negara berkembang masih meningkat sedangkan di negara maju cenderung menurun. Insiden stroke meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Setelah umur 55 tahun risiko stroke iskemik meningkat 2 kali lipat tiap dekade. Menurut Schutz penderita yang berumur antara 70-79 tahun banyak menderita perdarahan intrakranial (Junaidi, 2004). Laki-laki cenderung untuk terkena stroke lebih tinggi dibandingkan wanita, dengan perbandingan 1,3 : 1, kecuali pada usia lanjut laki-laki dan wanita hampir tidak berbeda. Laki-laki yang berumur 45 tahun bila bertahan hidup sampai 85 tahun kemungkinan terkena stroke 25%, sedangkan risiko bagi wanita hanya 20%. Pada laki-laki cenderung terkena stroke iskemik, sedangkan wanita lebih sering menderita perdarahan subarachnoid dan kematiannya 2 kali lebih tinggi dibandingkan wanita6. Sampai sekarang faktor keturunan masih belum dapat dipastikan gen mana penentu terjadinya stroke, menurut Brass dkk., yang meneliti lebih dari 1200 kasus kembar monozygot dibandingkan 1100 kasus kembar dizygot, berbeda bermakna antara 17,7% dan 3,6%. Jenis stroke bawaan adalah cerebral autosomal dominat arteriopathy dengan infark subkortikal dan leukoenselopati telah diketahui lokasi gennya pada kromosom 19Q126. Tingkat kejadian stroke di seluruh dunia tertinggi dialami oleh orang Jepang dan Cina, menurut Broderick dkk., melaporkan orang negro Amerika cenderung berisiko 1,4 kali lebih besar mengalami stroke perdarahan intrakranial, sedang orang kulit putih cenderung terkena stroke iskemik, akibat sumbatan ekstrakranial yang lebih banyak (Junaidi, 2004). Di indonesia menurut Menkes mengutip hasil Riset Kesehatan Dasar 2007 yang dipublikasikan pada Desember 2008. Prevalensi stroke di Indonesia 8,3 per 1.000 penduduk. Pada kelompok umur 45-54 tahun, stroke menjadi penyebab kematian tertinggi di wilayah perkotaan7.
Menurut WHO, stroke adalah tanda-tanda klinis mengenai gangguan fungsi serebral secara fokal ataupun global, yang berkembang dengan cepat, dengan gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih, atau mengarah ke kematian tanpa penyebab yang kelihatan, selain tanda-tanda yang berkenaan dengan aliran darah di otak. Menurut Junaidi, stroke adalah penyakit gangguan fungsional otak akut, fokal maupun global, akibat gangguan aliran darah ke otak karena perdarahan ataupun sumbatan dengan gejala dan tanda sesuai bagian otak yang terkena, yang dapat sembuh sempurna, sembuh dengan cacat, atau berakibat kematian. Penyebab stroke ada banyak faktor, bukan satu atau dua faktor belaka. Penyebab-penyebab ini disebut sebagai faktor risiko, yaitu suatu kelainan atau kondisi yang membuat seseorang rentan terhadap serangan stroke. Faktor risiko stroke tersebut umumnya dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu faktor yang tidak dapat dikontrol (umur, ras/bangsa, jenis kelamin, dan riwayat keluarga) dan faktor yang dapat dikontrol (hipertensi, diabetes melitus, transient iskemik attact, post stroke, perokok, peminum alkohol, obat kontrasepsi oral, obesitas, kurang aktifitas fisik, hiperkolesterolemia atau hiperlipidemia, stres fisik dan mental, dan hiperhomocysteinemia11.
Stroke dahulu dianggap sebagai penyakit yang tidak dapat diduga yang dapat terjadi pada siapa saja, dan sekali terjadi tidak ada lagi tindakan efektif yang dapat dilakukan untuk mengatasinya. Namun, data-data ilmiah terakhir secara meyakinkan telah membuktikan hal yang sebaliknya. Selama dekade terakhir telah terjadi kemajuan besar dalam pemahaman mengenai faktor risiko, pencegahan, pengobatan dan rehabilitasi stroke. Kita sekarang mengetahui bahwa stroke dapat diperkirakan dan dapat dicegah pada hampir 85% orang, khususnya pada stroke iskemik yang biasanya diawali oleh terjadinya aterosklerosis yang diakibatkan oleh tiga faktor utama yaitu gangguan pembuluh darah, gangguan susunan darah dan gangguan aliran darah, oleh sebab itu untuk menurunkan kejadian penyakit stroke yang tinggi maka kita harus mencegah terjadinya aterosklerosis. Juga terdapat terapi efektif yang dapat secara substansial memperbaiki hasil akhir stroke. Pada kenyatannya, sekitar sepertiga pasien stroke sekarang dapat pulih sempurna, dan proporsi ini dapat meningkat jika pasien selalu mendapat terapi darurat dan rehabilitasi yang memadai12.
I.2 Klasifikasi
Secara klinis, J Marshall (1976) mengusulkan klasifikasi stroke sebagai berikut :
A. Berdasarkan lokasi
a. Sistem karotis
b. Sistem Vetebrobasiler
B. Berdasarkan taraf perkembangan
a. Transient Ischemik attack
b. Stroke in evolution
c. Completed stroke
C. Berdasarkan kelainan pembuluh darah
a. Ateroma
b. Penyakit vaskular hipertensif
c. Emboli dari arteri sehat
d. Lain- lain (arteritis)



D. Berdasarkan lesi serebral
a. Pendarahan otak
b. Infark otak
c. Iskemia otak
Menurut AABN. Nuarta (1994) stroke dibagi menjadi :
A. Stroke iskemik
a. Reversible ischemic attack / RIA
i. Transient Ischemic attack / TIA
ii. Reversible ischemic neurological deficit / RIND
b. Stroke in evolution
c. Stroke in resolution
d. Completed stroke
B. Stroke hemoragik












BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Distribusi Pembentukan Aterosklerosis
Aterosklerosis sering ditemukan pada orang tua, akan tetapi proses pembentukannya telah terjadi sejak masa kanak-kanak hingga dewasa muda. Proses tersebut terus berlangsung tanpa menimbulkan gejala selama 20-30 tahun. Aterosklerosis biasanya terjadi pada arteri yang berukuran besar (arkus aorta) dan arteri yang berlekuk-lekuk (sifon karotis), dan arteri yang konfluen (arteri basilaris). Sedangkan pada tempat yang jarang terjadi pembentukan ateroma yaitu pada ujung distal arteri karotis interna hingga karotikus dan pada arteri serebri anterior. Sehingga lepasnya ateroma tersebut lebih sering menyebabkan penyumbatan pada arteri serebri media5.
Adanya distribusi khusus terjadinya aterosklerosis diatas sebenarnya disebabkan karena adanya haeomodynamics shear stress dan trauma endotel pembuluh darah pada daerah tersebut, yaitu pada tempat dimana terdapat perbedaan aliran darah, stagnasi darah dan turbulensi. Proses pembentukan Aterosklerosis dapat terjadi hanya pada satu sisi pembuluh darah saja, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan geometri anatomi pembuluh darah secara individual. Biasanya disertai oleh adanya proses aterosklerosis yang ditemukan di tempat lain, yaitu dengan adanya angina atau infark miokardium, atau claudicasio. Proses pembentukan aterosklerosis tersebut yang terjadi di berbagai arteri, di otak, aorta, atau pembuluh darah lain mempunyai proses yg sama. Adanya faktor genetika juga berpengaruh pada proses tersebut, yang diperberat dengan faktor lain seperti hipertensi5.



II.2 Patogenesis Aterosklerosis
Masih banyak yang kurang jelas dengan bagaimana terbentuknnya suatu aterosklerosis. Tetapi secara garis besar dapat dikatakan bahwa hal itu terjadi seperti berikut. Kalau adventitia dan media dinding pembuluh darah mendapat zat asam dan zat-zat makanan dengan melalui pembuluh-pembuluh darah halus yang mendarahi dinding arteri tersebut , maka intima mendapatkan zat-zat tersebut langsung dari darah yang mengalir dalam lumen arteri itu sendiri. Menurut teori perfusi hal tersebut akan dapat berlangsung dengan baik bila dinding pembuluh darah itu dapat berkontraksi dengan ritmis. Selain zat asam dan glukosa, juga lipid dan lipoprotein ikut masuk ke dalam dinding pembuluh darah. Lipid dan lipoprotein itu pula yang dimanfaatkan dalam metabolisme dinding pembuluh darah. Bila tidak diperlukan lagi, maka lipid dan lipoprotein akan dikembalikan ke dalam lumen pembuluh darah (lipid flux) 14.
Lipid flux ini akan dapat berlangsung dengan baik jika kadar High Dencisity Lipoprotein (HDL) cukup tinggi dan kadar Low Density Lipoprotein (LDL) yang rendah. Bila terjadi hal yang sebaliknya maka lipid flux tidak akan dapat berlangsung dengan baik. Disamping itu lipid flux tidak akan dapat berlangsung dengan baik jika metabolisme intima itu sendiri terganggu oleh karena tekanan darah yang tinggi sehingga kontraksi ritmis arteri terganggu dan kadar lemak (kolesterol, trigliserida. dan LDL) yang tinggi. Lemak ini tidak mengalir di tengah-tengah lumen, tetapi lemak ini mengalir dengan mendekati dinding pembuluh darah. Keadaan ini akan mengganggu meresapnya zat asam ke dalam intima sehingga akan terbentuk endapan lipid dalam intima dinding arteri itu sendiri. Atheroma (plak artheriosklerotik) adalah suatu plak fibro-lemak di dalam intima dengan inti yang terdiri dari lipid, terutama kolesterol yang dibungkus oleh jaringan ikat fibrus14.
Atheroslerotik adalah suatu proses kronik yang diawali dengan deposit lipid dan injuri dinding pembuluh darah yang menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, terjadinya proses inflamasi, dan infiltrasi monosit serta leukosit. Infiltrasi monosit dan leukosit akan mengakumulasikan lipid yang terokdidasi untuk membentuk makrofag dan foam sel dan akan memicu pembentukan fatty sreaks. Hal ini akan dilanjutkan dengan pemanggilan sel otot polos pembuluh darah untuk membentuk fibrous cap yang kompak. Respon inflamasi kronik yang disertai jaringan fibrus ini mengandung necrotic pool berupa lipid, leukosit dan debris dan menyebabkan pertumbuhan progresif lesi aterosklerotik8,14.

Gambar 1. Patogenesis aterosklerosis (Robbins,et al.1995).


2. 3 Diagnosis
Untuk mendapatkan diagnosis dari stroke non hemoragik oleh karena trombus dapat dilakukan :
Anamnesis
Onset mendadak atau subakut saat istirahat biasanya saat tidur malam antara jam 2-5 pagi. Kualitas beratnya berlahan-lahan memberatnya tidak mendadak tetapi selama beberapa jam. Lokasinya tergantung tempat yang terkena jika lesi di kortek serebri (girus sentralis anterior) maka terjadi monoplegi atau monoparesis. Kuantitasnya bagaimana misalnya kuantitas tenaganya sampai tidak bisa mengangkat tangannya. Faktor yang memperberat atau memperingannya. Ditanya juga bagaimana kronologis kejadiannya misalnya saat istirahat.
Gejala biasanya didahulu oleh gejala stroke dini seperti : Gejala sensorik meliputi kesemutan separuh tubuh, kadang-kadang penglihatan menjadi gelap setelah dipaksa-paksa berusaha bisa kelihatan lagi, gejala motorik, sekarang tulisan saya tidak beraturan, tangannya tidak bisa dikendalikan, mengancing baju sering tidak berhasil, makan tidak terampil memegang sendok berjalan, sandal sering lepas, memakai sandal harus dibanu dengan tangan, gangguan fungsi luhur, tiba-tiba seperti orang pikun kalau diajak bicara jawaban aneh-aneh, banyak lupa, dan kacau. bicara tidak jelas, cadel, lidah kaku, keliru masuk rumah tetangga disangka rumah sendiri, biasanya jarang terjadi penurunan kesadaran, mual, dan muntah.
Ditanya juga riwayat penyakit sebelumnya untuk membantu menyingkirkan penyebab lain misalnya pada stroke non hemoragik oleh karena trombus jarang berhubungan dengan kelainan jantung seperti aritmia, atrial fibrilasi dan gangguan jantung. Pada pasien juga ditanyakan pernah mengalami operasi, imobilisasi berkepanjangan, pemakaian kontrasepsi oral, terapi ganti hormon, kehamilan, kemoterapi kanker, dan heparin-induced thrombocytopenia merupakan faktor resiko dari terbentuknya trombus. Selain itu ditanyakan juga apa ada kelainan hipertensi, kencing manis dan sesak. Riwayat keluarganya juga ditanya apa ada riwayat gangguan koagulasi darah misalnya adanya mutasi geneti atau polimorfisme yang menyebabkan defisiensi antikoagulan alamiah (protein C, protein S atau AT). Apa ada juga kelainan hipertensi, kencing manis dan sesak. Riwayat sosialnya bisa ditanyakan apakah penderita sering merokok dan minum-minuman keras.
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik umum biasanya dalam batas normal. Sedangkan pada pemeriksaan neurologis akan ditemukan tanda atau gejala defisit neurologi tergantung daerah arteri yang terkena. Jika yang terkena sistem arteri karotis maka kelainannya berupa monokular buta (ipsilateral), aphasia motorik dan atau sensorik (jika terjadi pada kortek yang dominant), hemiparesis atau paralisis (kontralateral), hemihypesthesia atau anesthesia (kontralateral), homonimous hemianopsia (kontralateral), paresis motorik dan atau sensorik dari wajah dan alat gerak atas, paresis motorik dan hilangnya sensorik dari alat gerak bawah (kontralateral), transient hemiparesis (kontralateral), transient hemihypesthesia (kontralateral), dan homonimous hemianopsia (kontralateral)11.
Jika terjadi pada sistem arteri vertebra basiler maka kelainannya berupa ganguan penglihatan, pandangan kabur atau buta bila gangguan pada lobus oksipital. Gangguan nervi kranialais bila mengenai batang otak. Gangguan motorik, drop attack, ganggguan koordinasi, gangguan sensorik dan gangguan kesadaran. Reflek patologi biasanya muncul setelah 24-48 jam11.
Pemeriksaan Penunjang
Pada daerah terpencil untuk menentukan stroke non hemoragik atau stroke hemoragik dengan melakukan system skoring misalnya dengan Skor Siriraj jika jumlah kurang dari atau sama dengan satu maka stroke non hemoragik (SNH) dan jika jumlahnya lebih atau sama dengan satu maka stroke hemoragik (SH) seperti berikut ini :
1 Kesadaran Bersiaga 0
(x 2,5) Pingsan 1
Semi koma, koma 2
2 muntah Tidak 0
(x 2) Ya 1
3 Nyeri kepala dalam 2 jam Tidak 0
(x 2) Ya 1
4 Tekanan diastolik (DBP) 0,1 x DBP
5 Ateroma markers Tidak 0
diabetes, angina 1 atau > 1
claudication intermitten
(x 3)
Konstanta -12

Total Skor

Tabel. Skor Siriraj11
Pada fasilitas lengkap dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakkan diagnosis atau menyingkirkan diagnose lain. Pemeriksaan darah dan kimia biasanya dibedakan menjadi beberapa yaitu untuk mencari faktor resiko dan yang berhubungan dengan terapinya11.
Untuk melihat faktor resikonya, seperti terjadi peningkatan masa eritrosit (RBC) dan platelet (plt) peningkatan ini mengakibatkan meningkatnya jumlah eritrosit pada aliran aksial dan mendorong thrombosit dan platelet (plt) ke tepi sehingga thrombosit dan endotil mempunyai kontak yang lebih besar. Disamping itu juga terjadi peningkatan kolesterol, LDL, dan penurunan HDL. Untuk melihat boleh atau tidaknya suatu terapi dilakukan. Dilihat fungsi hatinya dengan melihat SGOT dan SGPT. Mengetahui fungsi ginjalnya dengan melihat kadar BUN dan kreatinin serum. Melihat keseimbangan elektrolitnya dengan melihat Na dan K11.
Foto thorak untuk melihat apa ada pembesaran jantung untuk menyingkirkan kemungkinan SNH oleh karena emboli. Sebelum dikenal adanya CT scan, pemeriksaan CSF merupakan metode yang paling sering dipakai untuk menegakkan diagnosis dari stroke hemoragik. Adanya darah atau Cerebro Spinal Fluid (CSF) yang xanthokromik mengindikasikan adanya komunikasi antara hematom dengan rongga ventrikular namun jarang pada hematoma lobar atau yang kecil. Secara umum, pungsi lumbal tidak direkomendasikan, karena hal ini dapat menyebabkan atau memperparah terjadinya herniasi. Selain itu dapat terjadi kenaikan leukosit serta LED pada beberapa pasien11.
Computerized Tomography (CT) serta kemudian Magnetic Resonance Imaging (MRI) memberikan visualisasi langsung dari darah serta produknya di ekstravaskuler. Komponen protein dari hemoglobin bertanggung jawab lebih dari 90% hiperdensitas gambaran CT pada kasus perdarahan, sedangkan paramagnetic properties dari hemoglobin bertanggung jawab atas perubahan sinyal pada MRI. CT scan dapat mendiagnosa secara akurat suatu perdarahan akut. Lesi menjadi hipodens dalam 3 minggu dan kemudian membentuk suatu posthemorrhagic pseudocyst. Perbedaan antara posthemorrhagic pseudocyst dari kontusio lama, lesi iskemik atau bahkan astrositoma mungkin dapat menjadi sulit. MRI dapat membedaakan 5 stage dari perdarahan berdasarkan waktunya yaitu: hiperakut, akut, subakut stage I, subakut stage II, dan kronik.
Penggunaan angiography pada diagnosis dari Pendarahan Intra Sereberal (PIS) menurun setelah adanya CT dan MRI. Peranan utama dari angiografi adalah sebagai alat diagnosis etiologi dari PIS non-hipertensif seperti AVM, aneurysm, tumor dan yang lainnya. PIS multipel, dan juga PIS pada tempat-tempat atipikal (hemispheric white matter, head of caudate nucleus). Walaupun demikian penggunaannya tetap terbatas oleh karena perkembangan imaging otak yang non-invasif.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan penunjang kita bisa tentukan diagnosis topis dan diagnosis kerja serta diagnosis bandingnya.
2.4 Penatalaksanaan Stroke
Penatalaksanaan umum stroke
Pengobatan penderita stroke idealnya mendapatkan penanganan di stroke unit. Stroke unit adalah salah satu bagian yang ada di rumah sakit dimana tenaga medis yang bekerja disana sudah memiliki pengalaman dalam menangani penderita stroke. Penderita stroke yang mendapat penanganan di stroke unit memiliki prognosis yang lebih baik jika dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan perawatan di stroke unit. Pada pengobatan penderita dengan penyakit serebrovaskular seperti stroke sangat penting untuk menentukan jenis dari gangguan pada pembuluh darah tersebut. Penanggulangan harus dilakukan dengan cepat dan tepat. Therapeutic window untuk penanganan stroke yang memberi hasil yang maksimal tidak lebih dari 12 jam (sebaiknya tidak lebih dari 3-6 jam)dari saat mulainya serangan , paling baik dalam kurun waktu 1 jam, dan biasanya sudah terjadi infark serebri bila lebih dari 24 jam (24-48 jam)11,15.
Pertolongan pertama pada penderita stroke ditujukan untuk mencegah kerusakan otak lebih lanjut dan mempertahankan hidup penderita sebelum dilakukan pengobatan yang tepat. Pada setiap penderita yang terganggu kesadarannya berlaku pedoman dari kedokteran darurat, yaitu pedoman 5B. Pedoman 5B terdiri dari breathing, brain, blood, bladder, dan bowel11,15.
Breathing adalah upaya untuk melapangkan jalan nafas dan pernafasan penderita. Membersihkan jalan nafas penderita stroke dengan penurunan kesadaran dilakukan karena sering kali jalan nafasnya terhalang oleh lendir, muntahan pasien, lidah yang jatuh ke belakang, gigi palsu dan benda asing lainnya. Kalau perlu dapat dipasang pipa orofaring yang bertujuan untuk mencegah tersumbatnnya jalan nafas oleh lidah penderita yang jatuh ke belakang. Cegah terjadinya batuk dan keinginan mengedan karena dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Letakkan penderita dalam posisi terlentang atau miring bergantian dengan kepala sedikit diekstensikan. Penderita dibaringkan dengan kepala diletakkan lebih tinggi 200-300 yang bertujuan untuk memperlancar aliran pengosongan vena otak, menurunkan tekanan intrakranial, dan mencegah edema otak lebih lanjut. Hindari posisi yang dapat menyebabkan tejadinya peningkatan tekanan intrakranial, misalnya posisi telungkup, fleksi kepala atau rotasi kepala yang berlebihan, atau fleksi sendi panggul berlebihan. Jika terdapat banyak lendir yang menyumbat jalan nafas pasien maka kita dapat melakukan penghisapan lendir. Upaya penghisapan lendir juga bertujuan untuk mencegah terjadinya aspirasi dan infeksi paru-paru. Tindakan ini harus dilakukan dengan hati-hati dan dianjurkan jika pasien sudah diberikan antiedema otak. Tindakan penghisapan lendir ini dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Bila jalan nafas sudah bebas, penderita akan bernafas lebih baik dan bahkan sering terjadi hiperventilasi spontan. Pemeriksan analisis gas darah diperlukan untuk menentukan kualitas pernafasan. Pertahankan Pa O2 80-100 mmHg dan Pa CO2 25-30 mmHg. Berikan oksigen sungkup maupun kanul untuk dapat mencukupi kebutuhan oksigen tubuh terutama kebutuhan oksigen otak. Aliran darah ke otak akan meningkat seiring dengan penurunan Pa O2 dan peningkatan Pa CO2. Bila aliran darah ke otak meningkat maka edema otak semakin meningkat dan tekanan intrakranial akan semakin meningkat11,15.
Penatalaksanaan Blood dilakukan dengan beberapa tahap. Pada orang sehat (normotensif), penurunan tekanan darah arteri rata-rata (MABP) sampai 60-70 mmHg dan peningkatan sampai 150-160 mmHg masih dapat diatasi dengan autoregulasi otak. Pada penderita hipertensi kronis, batas atas dan batas bawah MABP ini akan bergeser ke kanan atau dengan kata lain penderita hipertensi akan lebih tahan terhadap tekanan darah yang relatif lebih tinggi dan kurang tahan terhadap tekanan darah yang lebih rendah. Sehingga penurunan tekanan darah hendaknya dikerjakan dengan hati-hati dan pada prinsipnya diturunkan sedikit dibawah tekanan darah sebelum stroke (pada stroke hemoragik) dan sedikit diatas tekanan darah sebalum stroke (pada stroke non hemoragik). Pada penderita pendarahan intraserebral sering timbul hipertensi akut yang terjadi beberapa jam setelah serangan dan dapat berlangsung 7-10 hari tanpa memiliki riwayat hipertensi sebelumnya. Ini terjadi akubat refleks cushing yang bertutujuan untuk mempertahankan Cerebral Blood Flow (CBF). Pertahankan MABP 120-140 mmHg atau menurunkan tekanan darah jangan melebihi 20-25% pada penderita stroke dengan tekanan darah sistolik lebih dari 200 mmHg. Pada penderita dengan tekanan darah diastolik >140 mmHg diperlakukan sebagai penderita hipertensi emergensi dengan diberika drip kontinu nikardipin, diltiazem, nimodipin, dan lainnya. Jika tekanan darah sistolik >220 mmHg dan / atau tekanan darah diastolik >120 mmHg berikan labetolol IV selam 1-2 menit. Dosis labetolol dapat diulangi atau digandakan setiap 10-20 menit sampai penurunan tekanan darah sampai tekanan darah yang memuaskan dapat dicapai atau sampai dosis kumulatif 300mg yang diberikan melalui teknik bolus mini. Setelah dosis awal, labetolol dapat diberikan setiap 6-8 jam bila diperlukan. Jika tekanan darah sistolik <220 mmHg dan / atau tekanan diastolik < 120 mmHg terapi darurat harus ditunda kecuali adanya bukti perdarahan intraserebral, gagal ventrikel jantung kiri, infark miokard akut, gagal gijal akut, edema paru, diseksi aorta, encefalopati hipertensi dan sebagainya. Jika peninggian tekanan darah tersebut menetap pada dua kali pengukuran selang waktu 60 menit, maka diberikan 200-300 mg labetolol 2-3 kali sehari sesuai kebutuhan. Pengobatan alternatif yang memuaskan selain labetolol adalah nifedipin oral 10 mg setiap 6 jam atau 25 mg kaptopril setiap 8 jam. Jika monoterapi oral tidak berhasil atau jika obat tidak dapat diberikan per oral maka diberikan labetolol IV seperti cara di atas atau obat pilihan lainnya. Batas penurunan tekanan darah sebanyak-banyaknya sampai 20-25 % dari tekanan darah arterial rerata pada jam pertama. Berikan cairan isotonis seperti 0,9 % salin dengan tujuan menjaga euvolemi. Tekanan vena central dipertahankan antara 5-12 mmHg. Pada umumnya kebutuhan cairan 30ml/kgBB/hari (parenteral maupun enteral). Pemberrian cairan hipotonis sebaiknya dihindari (misalnya dekstrosa 5%) karena dapat memperberat edema otak. Pada stroke direkomendasikan mempergunakan larutan saline normal (osmolaritas 308 mOs/L), pada keadaan asidosis hiperkloremik pemberian NaCl 0,9 % berlebihan dapat memperberat acidosis dan akhirnya akan memperberat edema otak, dan ringer laktat (osmolaritas 273 mOs/L walaupun lebih rendah dibandingkan osmolaritas tubuh tapi cukup baik. Hemodilusi yang isovolemik dilaksanakan secepatnya, yaitu 12 jam (12-24 jam) setelah stroke pada penderita dengan hematokrit ≥42%. Hemodilusi dilakukan hingga hematokrit mencapai 35%±311,15. Penatalaksaan brain ini bertujuan untuk mengurangi dan mencegah timbulnya edema otak serta mencegah dan menanggulangi kejang. Pada penderita stroke bila terjadi tanda-tanda peningkatan tekanan intrakaranial berupa penurunan kesadaran sebaiknya diberikan manitol. Bila kejang berikan diazepam bolus lambat IV 5- 20 mg dan diikuti fenitoin loading dose 15-20 mg/kgBB/hari oral atau IV, dengan kecepatan maksimim 50 mg/menit. Initial dosis 100mg oral atau IV 3xsehari, dengan dosis maintenance 300-400 mg oral/hari dengan dosis terbagi. Bila kejang belum teratasi maka perlu dirawat di ICU. Setiap penderita stroke yang disertai febris harus diobati dengan antipiretika dan diatasi penyebabnya. Berikan asetaminofen 650 mg bila suhu lebih dari 38,5 0C11,15 Penatalaksanaan blader dilakukan dengan perhatikan fungsi ginjal dengan melihat produksi urin dan pengukuran keseimbangan cairan. Upayakan pasien kencing minimal 3 kali per hari. Pada kasus dengan retensio urin dapat dipasang folley kateter, sedangkan pada pria dapat dipasang kondom kateter. Pada wanita hanya bisa dipasang folley kateter. Untuk masalah miksi sebaiknya dilakukan program bladder training secara dini. Kantong urin sebaiknya diganti setiap 48 jam untuk menghindari infeksi dan untuk memantau jumlah urin yang diproduksi11,15. Penatalaksanaan bowel dengan memberikan makanan yang memenuhi jumlah kalori (2000 kkal), elektrolit, dan vitamin. Nutrisi harus sudah diberikan dalam 48 jam dan nutrisi oral diberikan bila hasil tes menelan baik. Bila ada gangguan menelan harus dipasang pipa nasogastrik. Pada keadaan akut kebutuhan kalori pasien adalah 25-30 kkal/kgBB/hari dengan komposisi karbohidrat 30-40% dai total kalori, lemak 20-35% (35-55% bila ada gangguan nafas) dari total kalori, protein 20-30% (1,4-2 g/kgBB/hari bila dalam keadaan stress; 0,8 bila ada gangguan fungsi ginjal). Hindari obstipasi dengan pemberian gliserin atau enema yang lain ke dalam rectum sekali dalam 2-3 hari bila penderita tidak dapat defekasi. Dianjurkan pemberian cairan dalam bentuk koloid, kristaloid atau darah. Jangan menggunakan cairan hipotonis atau dextrose in water. Hindari terjadinya hipovolemi (gejala hipovolemi yaitu takikardi, mukosa mulut kering, peningkatan kadar elektrolit terutama Na, dan peningkatan kadar ureum). Jika ada febris tingkatkan jumlah cairan yang diberikan. Pada kenaikan suhu 10C cairan ditambahkan 12-15 %. Hindari hiperglikemi dengan mempertahankan kadar glukosa serum <140 mg/dl. Hindari terjadinya hiperkolesterol pada pasien dengan stroke. Hiperkolesterol merupakan proses awal dari terjadinya aterosklerosis. Pasien dengan stroke iskhemik harus dievaluasi adanya hiperkolesterol. Pada fase akut dari stroke kadar kolesterol dapat ditemukan dengan hasil yang rendah. Teori terbaru dari terjadinya aterosklerosis adalah proses oksidatif LDL. Statin adalah obat yang dikenal potensial menurunkan LDL. Atorvastatin metabolit mampu mempertahankan formasi membran kolesterol dan menghambat proses stress oksidatif. Atorvastatin juga berfungsi sebagai antioksidan yang amat poten mencegah LDL yang teroksidasi11,15. Penatalaksaan Stroke Iskhemik Trombus Pada prinsipnya penatalaksanaan stroke iskhemik dapat dibagi menjadi 2, yaitu terapi yang bertujuan untuk melakukan reperfusi atau revaskularisasi aliran darah otak dan pemberian neuroprotektan. Terapi khusus ini bertujuan untuk mencegah terbentuknya radikal bebas dan mengendalikan faktor risiko yang ada pada pasien. Terapi reperfusi terdiri dari trombolitik, antikoagulan, antiplatelet, dan endovascular intervention (cerebral neurovascular angioplasty with stenting) 11,15. Obat trombolitik yang direkomendasikan oleh FDA adalah r-tPA. Obat ini diberikan dalam 3 jam setelah gejala stroke. Dosis pemberian r-tPA adalah 0,9 mg/kgBB maksimal 90 mg dengan 10% dari dosis yang diberikan sebagai bolus dan sisanya lewat infus selama 60 menit. Pemberian r-tPA. Pemberian r-tPA dapat dilakukan melalui arteri maupun vena. Pemberian r-tPA harus memenuhi kriteria inklusi yaitu: stroke iskhemik akut yang onsetnya diketahui jelas dan tidak melebihi 3 jam, usia > 18 tahun dan < 75 tahun, diagnosis stroke iskhemik dibuat oleh ahli stroke dan CT-scan, dan harus ada persetujuan tertulis dari penderita atau keluarganya setelah diterangkan risiko bahaya perdarahan dan keuntungan pengobatan r-tPA. Recombinant tissue plasminogen activator adalah sebuah protein yang berperan dalam proses penghancuran bekuan darah. Protein ini bernama serine protease yang ditemukan pada sel endotel. Sel endotel adalah sel yang melapisi pembuluh darah. Layaknya enzim yang lain, protein ini mengkatalisasi perubahan plasminogen menjadi plasmin. Plasmin merupakan enzim yang bertanggung jawab dalam penghancuran bekuan darah. Recombinant tissue plasminogen activator digunakan dalam penatatalaksanaan stroke non hemoragik yang disebabkan emboli dan thrombus. Kontraindikasi penggunaan obat ini adalah pada stroke hemoragik dan trauma kepala11,15. Obat antiplatlet merupakan obat yang berfungsi mencegah terjadinya agregasi trombosit. Obat anti agregasi platelet yang biasanya diberikan adalah asam asetil salisilat (ASA atau asetosal) dosis rendah yaitu 100- 300mg/hari (650mg/hari) dalam dosis yang terbagi. ASA mempunyai efek antiagregasi platelet yang kuat dan kemampuan menurunkan viskositas darah yang ringan. ASA menghambat secara irreversible siklooksigenase trombosit dengan cara acetylating dan mengurangi pembentukan tromboksan A2 (suatu stimulator kuat aktivasi trombosit). ASA menghambat trombosit selama hidupnya ( 9-13 hari). Jadi satu dosis tunggal terapetik akan mengakibatkan kerusakan trombosit selama 1 minggu. Obat antiagregasi diberikan selama 2 tahun bila tidak tersedia fasilitas penunjang untuk memeriksa viskositas darah dan kemampuan agregasi. Obat anti agregasi platelet biasanya diberikan segera setelah mendapat serangan stroke non-hemoragik yang dibuktikan dengan CT-scan. Bila tidak tersedia fasilitas untuk pemeriksaan CT-scan, obat antiagregasi platelet biasanya diberikan mulai hari ke lima setelah disingkirkan kemungkinan terjadinya stroke hemoragik11,15. Banyak kontroversi mengenai pemakaian antikoagulan seperti warfarin, kumarin, atau heparin untuk penatalaksanaan stroke. Obat – obat antikoagualan berperan dalam pencegahan pembentukan fibrin (anti fibrin) yang berfungsi dalam pembentukan bekuan darah. Dahulu obat-obatan ini dipertimbangkan penggunaannya pada TIA atau stroke emboli untuk mencegah embolisasi berulang. Sekarang tidak dianjurkan lagi karena sering menimbulkan pendarahan serebral11,15. Pemberian neuroprotektan merupakan salah satu bagian dari terapi stroke iskhemik. Citicoline dan piracetam merupakan contoh obat yang berfungsi sebagai neuroprotektan. Citicoline bekerja pada level neuronal dan pembuluh darah. Pada level neuronal citicoline meningkatkan pembentukan choline dan menghambat penghancuran phospatydilcholine (menghambat phospholipase), meningkatkan ambilan glukosa, menurunkan pembentukan asetilkolin, menghambat radikalisasi asam lemak dalam keadaan ischemia, meningkatkan biosintesa dan mencegah hidrolisis kardiolipin, merangsang pembentukan glutation yang merupakan antioksidan endogen otak terhadap radikal bebas, mengurangi peroksidasi lipid, dan mengembalikan aktivitas Na+/K+ ATP ase. Pada level pembuluh darah citicoline bekerja meningkatkan aliran darah ke otak, meningkatkan konsumsi O2, dan menurunkan resistensi vascular. Indikasi penggunaan citicilone, yaitu stroke iskhemik dalam ≤ 24 jam pertama dari onset dan stroke hemoragik intraserebral. Pada stroke iskhemik citicoline dapat diberikan dengan dosis 250 – 1000 mg/hari, IV terbagi dalam 2-3 kali/hari selama 2-14 hari, bila perlu dapat diberukan hingga 6-8 minggu. Piracetam bekerja pada level neuronal dan pembuluh darah. Pada level neuronal piracetam berkaitan dengan kepala polar phospholipids membrane, memperbaiki fluiditas membrane sel, memperbaiki neurotransmisi, menstimulasi adenylate kinase yang mengkatalisa konversi ADP menjadi ATP. Sedangkan pada level pembuluh darah piracetam meningkatkan deformabilitas eritrosit maka aliran darah ke otak akan meningkat, mengurangi hiperagregasi platelet, dan memperbaiki mikrosirkulasi. Indikasi stroke iskhemik akut dalam 7 jam pertama dari onset stroke11,15. 2.5 Program Pencegahan Stroke Tidak ada penatalaksaan stroke yang mampu mencegah terjadinya stroke berulang. Pencegahan adalah upaya yang paling efektif untuk menghindari kematian dan kecacatan akibat dari stroke. Program pencegahan stroke terdiri dari promosi kesehatan, upaya pencegahan primer, dan upaya pencegahan sekunder. Promosi kesehatan adalah upaya untuk memperkenalkan bagaimana menerapkan pola hidup sehat kepada masyarakat. Gaya hidup sehat, yaitu mengatur pola makan yang sehat, olah raga yang teratur, istirahat yang cukup, menghindari dan menghentikan merokok, menghindari dan menghentikan minum alkohol, dan menghindari stress15. Pencegahan primer pada stroke meliputi upaya memperbaiki gaya hidup dan mengatasi berbagai faktor risiko. Upaya ini ditujukan pada orang sehat maupun kelompok risiko tinggi yang belum pernah terserang stroke. Upaya pencegahan primer terdiri dari mengatur pola makan yang sehat, melakukan olah raga yang teratur, menghentikan penggunaan rokok, menghindari minum alkohol dan penyalahgunaan obat, memelihara badan yang layak, menghentikan pemakaian kontrasepsi oral dan mencari alternatif lain untuk KB, penanganan stress dan beristirahat yang cukup, pemeriksaan kesehatan yang teratur dan mentaati saran dokter dalam hal diet dan minum obat yang teratur untuk mengendalikan faktor risiko yang telah ada (diabetes mellitus dan hipertensi), dan pemakaian antiplatelet (asetosal)15. Upaya pencegahan sekunder ditujukan pada orang yang menderita stroke, memiliki riwayat stroke, dan memiliki riwayat Transient Ischemik Attact (TIA). Upaya pencegahan stroke sekunder, yaitu menerapkan pola hidup sehat (mengatur pola makan yang sehat, olah raga yang teratur, istirahat yang cukup, menghindari dan menghentikan merokok, menghindari dan menghentikan minum alkohol, dan menghindari stress), mengontrol faktor risiko yang sudah ada, memakai anti trombotik atau anti agregasi platelet (asetosal), trhombektomy atau carotid endarterectomy, angioplasti, dan stenting15. 2.6 Program Rehabilitasi Medik pada Penderita Stroke Fase awal Tujuannya adalah untuk mencegah komplikasi sekunder dan melindungi fungsi yang tersisa. Program ini dimulai sedini mungkin setelah keadaan umum memungkinkan dimulainya rehabilitasi. Hal-hal yang dapat dikerjakan adalah proper bed positioning, latihan luas gerak sendi, stimulasi elektrikal dan begitu penderita sadar dimulai penanganan masalah emosional2. Fase lanjutan Tujuannya adalah unyuk mencapai kemandirian fungsional dalam mobilisasi dan aktifitas kegiatan sehari-hari (AKS). Fase ini dimulai pada waktu penderita secara medik telah stabil. Biasanya penderita dengan stroke trombotik atau embolik, biasanya mobilisasi dimulai pada 2-3 hari setelah stroke. Penderita dengan perdarahan subarakhnoid mobilisasi dimulai 10-15 hari setelah stroke. Program pada fase ini meliputi2 : 1. Fisioterapi Stimulasi elektrikal untuk otot-otot dengan kekuatan otot (kekuatan 2 kebawah). Diberikan terapi panas superficial (infra red) untuk melemaskan otot. Latihan gerak sendi bisa pasif, aktif dibantuatau aktif tergantung dari kekuatan otot. Latihan untuk meningkatkan kekuatan otot. Latihan fasilitasi / redukasi otot dan mobilisasi. 2. Okupasi Terapi (aktifitas kehidupan sehari-hari/AKS) Sebagian besar penderita stroke dapat mencapai kemandirian dalam AKS, meskipun pemulihan fungsi neurologis pada ekstremitas yang terkena belum tentu baik. Dengan alat bantu yang disesuaikan, AKS dengan menggunakan satu tangan secara mandiri dapat dikerjakan. Kemandirian dapat dipermudah dengan pemakaian alat-alat yang disesuaikan. 3. Terapi Bicara Penderita stroke sering mengalami gangguan bicara dan komunikasi. Ini dapat ditangani oleh speech therapist dengan cara: latihan pernapasan ( pre speech training ) berupa latihan napas, menelan, meniup, latihan gerak bibir, lidah dan tenggorokan. Latihan di depan cermin untuk latihan gerakan lidah, bibir dan mengucapkan kata-kata. Latihan pada penderita disartria lebih ditekankan ke artikulasi mengucapkan kata-kata. Pelaksanaan terapi adalah tim medik dan keluarga. 4. Ortotik Prostetik Pada penderita stroke dapat digunakan alat bantu atau alat ganti dalam membantu transfer dan ambulasi penderita. Alat-alat yang sering digunakan antara lain : arm sling, hand sling, walker, wheel chair, knee back slap, short leg brace, cock-up, ankle foot orthotic (AFO), dan knee ankle foot orthotic (KAFO). 5. Psikologi Semua penderita dengan gangguan fungsional yang akut akan melampaui serial fase psikologis, yaitu: fase shok, fase penolakan, fase penyesuaian dan fase penerimaan. Sebagian penderita mengalami fase-fase tersebut secara cepat, sedangkan sebagian lagi mengalami secara lambat, berhenti pada salah satu fase, bahkan kembali ke fase yang telah lewat. Penderita harus berada pada fase psikologis yang sesuai untuk dapat menerima rehabilitasi. 6. Sosial Medik dan Vokasional Pekerja sosial medik dapat memulai bekerja dengan wawancara keluarga, keterangan tentang pekerjaan, kegemaran, sosial, ekonomi dan lingkungan hidup serta keadaan rumah penderita 2.6 Prognosis Prognosis menurut Harsono (1996) dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu tingkat kesadaran (sadar 16 % meninggal, somnolen 39 % meninggal, yang stupor 71 % meninggal, dan bila koma 100 % meninggal), usia: (pada usia 70 tahun atau lebih, angka – angka kematian meningkat tajam), jenis kelamin (laki – laki lebih banyak 16 % yang meninggal dari pada perempuan 39 %), tekanan darah: (tekanan darah tinggi prognosis jelek), dan cepat dan tepatnya pertolongan14. Pada umumnya prognosis stroke non hemoragik lebih baik jika dibandingkan dengan stroke hemoragik. Namun jika pasien dengan stroke hemoragik bisa selamat, pemulihannya akan lebih cepat jika dibandingkan dengan stroke non hemoragik. BAB III RINGKASAN Menurut WHO, stroke adalah tanda-tanda klinis mengenai gangguan fungsi serebral secara fokal ataupun global, yang berkembang dengan cepat, dengan gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih, atau mengarah ke kematian tanpa penyebab yang kelihatan, selain tanda-tanda yang berkenaan dengan aliran darah di otak. Adanya distribusi khusus terjadinya aterosklerosis diatas sebenarnya disebabkan karena adanya haeomodynamics shear stress dan trauma endotel pembuluh darah pada daerah tersebut. Atheroslerotik adalah suatu proses kronik yang diawali dengan deposit lipid dan injuri dinding pembuluh darah yang menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, terjadinya proses inflamasi, dan infiltrasi monosit serta leukosit. Infiltrasi monosit dan leukosit akan mengakumulasikan lipid yang terokdidasi untuk membentuk makrofag dan foam sel dan akan memicu pembentukan fatty sreaks. Hal ini akan dilanjutkan dengan pemanggilan sel otot polos pembuluh darah untuk membentuk fibrous cap yang kompak. Respon inflamasi kronik yang disertai jaringan fibrus ini mengandung necrotic pool berupa lipid, leukosit dan debris dan menyebabkan pertumbuhan progresif lesi aterosklerotik Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan penunjang kita bisa tentukan diagnosis topis dan diagnosis kerja serta diagnosis bandingnya Pertolongan pertama pada penderita stroke ditujukan untuk mencegah kerusakan otak lebih lanjut dan mempertahankan hidup penderita sebelum dilakukan pengobatan yang tepat. Pada setiap penderita yang terganggu kesadarannya berlaku pedoman dari kedokteran darurat, yaitu pedoman 5B. Pedoman 5B terdiri dari breathing, brain, blood, bladder, dan bowel. Pada prinsipnya penatalaksanaan stroke iskhemik dapat dibagi menjadi 2, yaitu terapi yang bertujuan untuk melakukan reperfusi atau revaskularisasi aliran darah otak dan pemberian neuroprotektan. Terapi khusus ini bertujuan untuk mencegah terbentuknya radikal bebas dan mengendalikan factor risiko yang ada pada pasien. Terapi reperfusi terdiri dari trombolitik, antikoagulan, antiplatelet, dan endovascular intervention (cerebral neurovascular angioplasty with stenting). Program rehabilitasi medik pada penderita stroke. Fase awal tujuannya adalah untuk mencegah komplikasi sekunder dan melindungi fungsi yang tersisa. Fase lanjutant ujuannya adalah unyuk mencapai kemandirian fungsional dalam mobilisasi dan aktifitas kegiatan sehari-hari (AKS). Prognosis dipengaruhi beberapa factor seperti Tingkat kesadaran, usia, jenis kelamin, tekanan darah cepat dan tepatnya pertolongan DAFTAR PUSTAKA Alain Tedgui, et al. 2006. Cytokines in Atherosclerosis Pathogenic and Regulatory Pathways. Http://physrev.physiology.org Angliadi LS. Rehabilitasi Medik Pada Stroke. Proceeding symposium stroke up date. Manado. Perdosi, 2001. Fuhrman, Jane, dan Julio.1995. Consumption of Red Wine with Meals Reduces the Susceptibility of Human Plasma and Low-Density Lipoprotein to Lipid Peroxidation .Journak Clinical Nutrition.61:549-54. Guiton and Hall. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : Buku Kedokteran EGC Japardi,Iskandar. 2002. Patofisiologi stroke Infark Akibat Tromboemboli.USU digital library Kompas. Senin, 29 Juni 2009 | 03:59 WIB. Stroke Penyebab Kematian Tertinggi. Jakarta : Kompas Kumar,V.,Cotran,R.S.,dan Robbins,S.L.2003. Buku Ajar Patologi. Penerjemah Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari : Robbins basic Pathology 7 th ed Laroux FS, et al. 2001.Role of Nitric Oxide in Inflammation. Acta Physiol Scand. 173: 113. Nassisi D., 2008. Stroke, Hemorrhagic. Departement of Emergency Medicine, Mount Sinai Medical Center. Available from:http://emedicine.medscape.com/article/793821-overview Nuarta,AA Bgs Ngr,1994.Beberapa Aspek Diagnostik dan Penatalaksanaan Stroke Akut. Denpasar : Laboratorium Neurologi Fakultas Kedokteran UNUD Sang Surya & Ridwan Amiruddin. 2008. Epidemiologi Stroke.www.new paradigma for public healt.com Warlow, C., van Gijn, J., Dennis, M., Wardlaw, J., Bamford, J., Hankey, G., 2008. Stroke: Practical Management 3rdedition. Massachusetts: Blackwell Publishing. Yayasan Stroke Indonesia. Tahun 2020, Penderita Stroke Meningkat 2 Kali. Jakarta: Yayasan Stroke Indonesia. Available from: http://www.yastroki.or.id/berita.php?id=4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar