Sabtu, 21 Agustus 2010

Penatalaksanaan Penyakit Stroke Iskemik Trombus Akibat Aterosklerosis

BAB I
I. PENDAHULUAN
I.1 Latar belakang
Stroke adalah penyakit otak yang paling destruktif dengan konsekuensi berat, termasuk beban psikologis, fisik, dan keuangan yang besar pada pasien, keluarga, dan masyarakat. Pada kenyataannya, banyak orang yang lebih takut akan menjadi cacat oleh stroke dibanding dengan kematian itu sendiri. Jika tidak ada metode-metode pencegahan yang ada sekarang, jumlah stroke dan korban stroke akan tumbuh pesat dalam beberapa dekade mendatang12.
Stroke dapat menyerang kapan saja, mendadak, siapa saja, baik laki-laki atau perempuan, tua atau muda. Diperkirakan satu sampai tiga orang akan mengalami stroke dan satu dari tujuh orang meninggal karena stroke. Insiden stroke timbul bervariasi, tergantung tempat atau negara, waktu, serta penderitanya. Insiden stroke di negara berkembang masih meningkat sedangkan di negara maju cenderung menurun. Insiden stroke meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Setelah umur 55 tahun risiko stroke iskemik meningkat 2 kali lipat tiap dekade. Menurut Schutz penderita yang berumur antara 70-79 tahun banyak menderita perdarahan intrakranial (Junaidi, 2004). Laki-laki cenderung untuk terkena stroke lebih tinggi dibandingkan wanita, dengan perbandingan 1,3 : 1, kecuali pada usia lanjut laki-laki dan wanita hampir tidak berbeda. Laki-laki yang berumur 45 tahun bila bertahan hidup sampai 85 tahun kemungkinan terkena stroke 25%, sedangkan risiko bagi wanita hanya 20%. Pada laki-laki cenderung terkena stroke iskemik, sedangkan wanita lebih sering menderita perdarahan subarachnoid dan kematiannya 2 kali lebih tinggi dibandingkan wanita6. Sampai sekarang faktor keturunan masih belum dapat dipastikan gen mana penentu terjadinya stroke, menurut Brass dkk., yang meneliti lebih dari 1200 kasus kembar monozygot dibandingkan 1100 kasus kembar dizygot, berbeda bermakna antara 17,7% dan 3,6%. Jenis stroke bawaan adalah cerebral autosomal dominat arteriopathy dengan infark subkortikal dan leukoenselopati telah diketahui lokasi gennya pada kromosom 19Q126. Tingkat kejadian stroke di seluruh dunia tertinggi dialami oleh orang Jepang dan Cina, menurut Broderick dkk., melaporkan orang negro Amerika cenderung berisiko 1,4 kali lebih besar mengalami stroke perdarahan intrakranial, sedang orang kulit putih cenderung terkena stroke iskemik, akibat sumbatan ekstrakranial yang lebih banyak (Junaidi, 2004). Di indonesia menurut Menkes mengutip hasil Riset Kesehatan Dasar 2007 yang dipublikasikan pada Desember 2008. Prevalensi stroke di Indonesia 8,3 per 1.000 penduduk. Pada kelompok umur 45-54 tahun, stroke menjadi penyebab kematian tertinggi di wilayah perkotaan7.
Menurut WHO, stroke adalah tanda-tanda klinis mengenai gangguan fungsi serebral secara fokal ataupun global, yang berkembang dengan cepat, dengan gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih, atau mengarah ke kematian tanpa penyebab yang kelihatan, selain tanda-tanda yang berkenaan dengan aliran darah di otak. Menurut Junaidi, stroke adalah penyakit gangguan fungsional otak akut, fokal maupun global, akibat gangguan aliran darah ke otak karena perdarahan ataupun sumbatan dengan gejala dan tanda sesuai bagian otak yang terkena, yang dapat sembuh sempurna, sembuh dengan cacat, atau berakibat kematian. Penyebab stroke ada banyak faktor, bukan satu atau dua faktor belaka. Penyebab-penyebab ini disebut sebagai faktor risiko, yaitu suatu kelainan atau kondisi yang membuat seseorang rentan terhadap serangan stroke. Faktor risiko stroke tersebut umumnya dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu faktor yang tidak dapat dikontrol (umur, ras/bangsa, jenis kelamin, dan riwayat keluarga) dan faktor yang dapat dikontrol (hipertensi, diabetes melitus, transient iskemik attact, post stroke, perokok, peminum alkohol, obat kontrasepsi oral, obesitas, kurang aktifitas fisik, hiperkolesterolemia atau hiperlipidemia, stres fisik dan mental, dan hiperhomocysteinemia11.
Stroke dahulu dianggap sebagai penyakit yang tidak dapat diduga yang dapat terjadi pada siapa saja, dan sekali terjadi tidak ada lagi tindakan efektif yang dapat dilakukan untuk mengatasinya. Namun, data-data ilmiah terakhir secara meyakinkan telah membuktikan hal yang sebaliknya. Selama dekade terakhir telah terjadi kemajuan besar dalam pemahaman mengenai faktor risiko, pencegahan, pengobatan dan rehabilitasi stroke. Kita sekarang mengetahui bahwa stroke dapat diperkirakan dan dapat dicegah pada hampir 85% orang, khususnya pada stroke iskemik yang biasanya diawali oleh terjadinya aterosklerosis yang diakibatkan oleh tiga faktor utama yaitu gangguan pembuluh darah, gangguan susunan darah dan gangguan aliran darah, oleh sebab itu untuk menurunkan kejadian penyakit stroke yang tinggi maka kita harus mencegah terjadinya aterosklerosis. Juga terdapat terapi efektif yang dapat secara substansial memperbaiki hasil akhir stroke. Pada kenyatannya, sekitar sepertiga pasien stroke sekarang dapat pulih sempurna, dan proporsi ini dapat meningkat jika pasien selalu mendapat terapi darurat dan rehabilitasi yang memadai12.
I.2 Klasifikasi
Secara klinis, J Marshall (1976) mengusulkan klasifikasi stroke sebagai berikut :
A. Berdasarkan lokasi
a. Sistem karotis
b. Sistem Vetebrobasiler
B. Berdasarkan taraf perkembangan
a. Transient Ischemik attack
b. Stroke in evolution
c. Completed stroke
C. Berdasarkan kelainan pembuluh darah
a. Ateroma
b. Penyakit vaskular hipertensif
c. Emboli dari arteri sehat
d. Lain- lain (arteritis)



D. Berdasarkan lesi serebral
a. Pendarahan otak
b. Infark otak
c. Iskemia otak
Menurut AABN. Nuarta (1994) stroke dibagi menjadi :
A. Stroke iskemik
a. Reversible ischemic attack / RIA
i. Transient Ischemic attack / TIA
ii. Reversible ischemic neurological deficit / RIND
b. Stroke in evolution
c. Stroke in resolution
d. Completed stroke
B. Stroke hemoragik












BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Distribusi Pembentukan Aterosklerosis
Aterosklerosis sering ditemukan pada orang tua, akan tetapi proses pembentukannya telah terjadi sejak masa kanak-kanak hingga dewasa muda. Proses tersebut terus berlangsung tanpa menimbulkan gejala selama 20-30 tahun. Aterosklerosis biasanya terjadi pada arteri yang berukuran besar (arkus aorta) dan arteri yang berlekuk-lekuk (sifon karotis), dan arteri yang konfluen (arteri basilaris). Sedangkan pada tempat yang jarang terjadi pembentukan ateroma yaitu pada ujung distal arteri karotis interna hingga karotikus dan pada arteri serebri anterior. Sehingga lepasnya ateroma tersebut lebih sering menyebabkan penyumbatan pada arteri serebri media5.
Adanya distribusi khusus terjadinya aterosklerosis diatas sebenarnya disebabkan karena adanya haeomodynamics shear stress dan trauma endotel pembuluh darah pada daerah tersebut, yaitu pada tempat dimana terdapat perbedaan aliran darah, stagnasi darah dan turbulensi. Proses pembentukan Aterosklerosis dapat terjadi hanya pada satu sisi pembuluh darah saja, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan geometri anatomi pembuluh darah secara individual. Biasanya disertai oleh adanya proses aterosklerosis yang ditemukan di tempat lain, yaitu dengan adanya angina atau infark miokardium, atau claudicasio. Proses pembentukan aterosklerosis tersebut yang terjadi di berbagai arteri, di otak, aorta, atau pembuluh darah lain mempunyai proses yg sama. Adanya faktor genetika juga berpengaruh pada proses tersebut, yang diperberat dengan faktor lain seperti hipertensi5.



II.2 Patogenesis Aterosklerosis
Masih banyak yang kurang jelas dengan bagaimana terbentuknnya suatu aterosklerosis. Tetapi secara garis besar dapat dikatakan bahwa hal itu terjadi seperti berikut. Kalau adventitia dan media dinding pembuluh darah mendapat zat asam dan zat-zat makanan dengan melalui pembuluh-pembuluh darah halus yang mendarahi dinding arteri tersebut , maka intima mendapatkan zat-zat tersebut langsung dari darah yang mengalir dalam lumen arteri itu sendiri. Menurut teori perfusi hal tersebut akan dapat berlangsung dengan baik bila dinding pembuluh darah itu dapat berkontraksi dengan ritmis. Selain zat asam dan glukosa, juga lipid dan lipoprotein ikut masuk ke dalam dinding pembuluh darah. Lipid dan lipoprotein itu pula yang dimanfaatkan dalam metabolisme dinding pembuluh darah. Bila tidak diperlukan lagi, maka lipid dan lipoprotein akan dikembalikan ke dalam lumen pembuluh darah (lipid flux) 14.
Lipid flux ini akan dapat berlangsung dengan baik jika kadar High Dencisity Lipoprotein (HDL) cukup tinggi dan kadar Low Density Lipoprotein (LDL) yang rendah. Bila terjadi hal yang sebaliknya maka lipid flux tidak akan dapat berlangsung dengan baik. Disamping itu lipid flux tidak akan dapat berlangsung dengan baik jika metabolisme intima itu sendiri terganggu oleh karena tekanan darah yang tinggi sehingga kontraksi ritmis arteri terganggu dan kadar lemak (kolesterol, trigliserida. dan LDL) yang tinggi. Lemak ini tidak mengalir di tengah-tengah lumen, tetapi lemak ini mengalir dengan mendekati dinding pembuluh darah. Keadaan ini akan mengganggu meresapnya zat asam ke dalam intima sehingga akan terbentuk endapan lipid dalam intima dinding arteri itu sendiri. Atheroma (plak artheriosklerotik) adalah suatu plak fibro-lemak di dalam intima dengan inti yang terdiri dari lipid, terutama kolesterol yang dibungkus oleh jaringan ikat fibrus14.
Atheroslerotik adalah suatu proses kronik yang diawali dengan deposit lipid dan injuri dinding pembuluh darah yang menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, terjadinya proses inflamasi, dan infiltrasi monosit serta leukosit. Infiltrasi monosit dan leukosit akan mengakumulasikan lipid yang terokdidasi untuk membentuk makrofag dan foam sel dan akan memicu pembentukan fatty sreaks. Hal ini akan dilanjutkan dengan pemanggilan sel otot polos pembuluh darah untuk membentuk fibrous cap yang kompak. Respon inflamasi kronik yang disertai jaringan fibrus ini mengandung necrotic pool berupa lipid, leukosit dan debris dan menyebabkan pertumbuhan progresif lesi aterosklerotik8,14.

Gambar 1. Patogenesis aterosklerosis (Robbins,et al.1995).


2. 3 Diagnosis
Untuk mendapatkan diagnosis dari stroke non hemoragik oleh karena trombus dapat dilakukan :
Anamnesis
Onset mendadak atau subakut saat istirahat biasanya saat tidur malam antara jam 2-5 pagi. Kualitas beratnya berlahan-lahan memberatnya tidak mendadak tetapi selama beberapa jam. Lokasinya tergantung tempat yang terkena jika lesi di kortek serebri (girus sentralis anterior) maka terjadi monoplegi atau monoparesis. Kuantitasnya bagaimana misalnya kuantitas tenaganya sampai tidak bisa mengangkat tangannya. Faktor yang memperberat atau memperingannya. Ditanya juga bagaimana kronologis kejadiannya misalnya saat istirahat.
Gejala biasanya didahulu oleh gejala stroke dini seperti : Gejala sensorik meliputi kesemutan separuh tubuh, kadang-kadang penglihatan menjadi gelap setelah dipaksa-paksa berusaha bisa kelihatan lagi, gejala motorik, sekarang tulisan saya tidak beraturan, tangannya tidak bisa dikendalikan, mengancing baju sering tidak berhasil, makan tidak terampil memegang sendok berjalan, sandal sering lepas, memakai sandal harus dibanu dengan tangan, gangguan fungsi luhur, tiba-tiba seperti orang pikun kalau diajak bicara jawaban aneh-aneh, banyak lupa, dan kacau. bicara tidak jelas, cadel, lidah kaku, keliru masuk rumah tetangga disangka rumah sendiri, biasanya jarang terjadi penurunan kesadaran, mual, dan muntah.
Ditanya juga riwayat penyakit sebelumnya untuk membantu menyingkirkan penyebab lain misalnya pada stroke non hemoragik oleh karena trombus jarang berhubungan dengan kelainan jantung seperti aritmia, atrial fibrilasi dan gangguan jantung. Pada pasien juga ditanyakan pernah mengalami operasi, imobilisasi berkepanjangan, pemakaian kontrasepsi oral, terapi ganti hormon, kehamilan, kemoterapi kanker, dan heparin-induced thrombocytopenia merupakan faktor resiko dari terbentuknya trombus. Selain itu ditanyakan juga apa ada kelainan hipertensi, kencing manis dan sesak. Riwayat keluarganya juga ditanya apa ada riwayat gangguan koagulasi darah misalnya adanya mutasi geneti atau polimorfisme yang menyebabkan defisiensi antikoagulan alamiah (protein C, protein S atau AT). Apa ada juga kelainan hipertensi, kencing manis dan sesak. Riwayat sosialnya bisa ditanyakan apakah penderita sering merokok dan minum-minuman keras.
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik umum biasanya dalam batas normal. Sedangkan pada pemeriksaan neurologis akan ditemukan tanda atau gejala defisit neurologi tergantung daerah arteri yang terkena. Jika yang terkena sistem arteri karotis maka kelainannya berupa monokular buta (ipsilateral), aphasia motorik dan atau sensorik (jika terjadi pada kortek yang dominant), hemiparesis atau paralisis (kontralateral), hemihypesthesia atau anesthesia (kontralateral), homonimous hemianopsia (kontralateral), paresis motorik dan atau sensorik dari wajah dan alat gerak atas, paresis motorik dan hilangnya sensorik dari alat gerak bawah (kontralateral), transient hemiparesis (kontralateral), transient hemihypesthesia (kontralateral), dan homonimous hemianopsia (kontralateral)11.
Jika terjadi pada sistem arteri vertebra basiler maka kelainannya berupa ganguan penglihatan, pandangan kabur atau buta bila gangguan pada lobus oksipital. Gangguan nervi kranialais bila mengenai batang otak. Gangguan motorik, drop attack, ganggguan koordinasi, gangguan sensorik dan gangguan kesadaran. Reflek patologi biasanya muncul setelah 24-48 jam11.
Pemeriksaan Penunjang
Pada daerah terpencil untuk menentukan stroke non hemoragik atau stroke hemoragik dengan melakukan system skoring misalnya dengan Skor Siriraj jika jumlah kurang dari atau sama dengan satu maka stroke non hemoragik (SNH) dan jika jumlahnya lebih atau sama dengan satu maka stroke hemoragik (SH) seperti berikut ini :
1 Kesadaran Bersiaga 0
(x 2,5) Pingsan 1
Semi koma, koma 2
2 muntah Tidak 0
(x 2) Ya 1
3 Nyeri kepala dalam 2 jam Tidak 0
(x 2) Ya 1
4 Tekanan diastolik (DBP) 0,1 x DBP
5 Ateroma markers Tidak 0
diabetes, angina 1 atau > 1
claudication intermitten
(x 3)
Konstanta -12

Total Skor

Tabel. Skor Siriraj11
Pada fasilitas lengkap dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakkan diagnosis atau menyingkirkan diagnose lain. Pemeriksaan darah dan kimia biasanya dibedakan menjadi beberapa yaitu untuk mencari faktor resiko dan yang berhubungan dengan terapinya11.
Untuk melihat faktor resikonya, seperti terjadi peningkatan masa eritrosit (RBC) dan platelet (plt) peningkatan ini mengakibatkan meningkatnya jumlah eritrosit pada aliran aksial dan mendorong thrombosit dan platelet (plt) ke tepi sehingga thrombosit dan endotil mempunyai kontak yang lebih besar. Disamping itu juga terjadi peningkatan kolesterol, LDL, dan penurunan HDL. Untuk melihat boleh atau tidaknya suatu terapi dilakukan. Dilihat fungsi hatinya dengan melihat SGOT dan SGPT. Mengetahui fungsi ginjalnya dengan melihat kadar BUN dan kreatinin serum. Melihat keseimbangan elektrolitnya dengan melihat Na dan K11.
Foto thorak untuk melihat apa ada pembesaran jantung untuk menyingkirkan kemungkinan SNH oleh karena emboli. Sebelum dikenal adanya CT scan, pemeriksaan CSF merupakan metode yang paling sering dipakai untuk menegakkan diagnosis dari stroke hemoragik. Adanya darah atau Cerebro Spinal Fluid (CSF) yang xanthokromik mengindikasikan adanya komunikasi antara hematom dengan rongga ventrikular namun jarang pada hematoma lobar atau yang kecil. Secara umum, pungsi lumbal tidak direkomendasikan, karena hal ini dapat menyebabkan atau memperparah terjadinya herniasi. Selain itu dapat terjadi kenaikan leukosit serta LED pada beberapa pasien11.
Computerized Tomography (CT) serta kemudian Magnetic Resonance Imaging (MRI) memberikan visualisasi langsung dari darah serta produknya di ekstravaskuler. Komponen protein dari hemoglobin bertanggung jawab lebih dari 90% hiperdensitas gambaran CT pada kasus perdarahan, sedangkan paramagnetic properties dari hemoglobin bertanggung jawab atas perubahan sinyal pada MRI. CT scan dapat mendiagnosa secara akurat suatu perdarahan akut. Lesi menjadi hipodens dalam 3 minggu dan kemudian membentuk suatu posthemorrhagic pseudocyst. Perbedaan antara posthemorrhagic pseudocyst dari kontusio lama, lesi iskemik atau bahkan astrositoma mungkin dapat menjadi sulit. MRI dapat membedaakan 5 stage dari perdarahan berdasarkan waktunya yaitu: hiperakut, akut, subakut stage I, subakut stage II, dan kronik.
Penggunaan angiography pada diagnosis dari Pendarahan Intra Sereberal (PIS) menurun setelah adanya CT dan MRI. Peranan utama dari angiografi adalah sebagai alat diagnosis etiologi dari PIS non-hipertensif seperti AVM, aneurysm, tumor dan yang lainnya. PIS multipel, dan juga PIS pada tempat-tempat atipikal (hemispheric white matter, head of caudate nucleus). Walaupun demikian penggunaannya tetap terbatas oleh karena perkembangan imaging otak yang non-invasif.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan penunjang kita bisa tentukan diagnosis topis dan diagnosis kerja serta diagnosis bandingnya.
2.4 Penatalaksanaan Stroke
Penatalaksanaan umum stroke
Pengobatan penderita stroke idealnya mendapatkan penanganan di stroke unit. Stroke unit adalah salah satu bagian yang ada di rumah sakit dimana tenaga medis yang bekerja disana sudah memiliki pengalaman dalam menangani penderita stroke. Penderita stroke yang mendapat penanganan di stroke unit memiliki prognosis yang lebih baik jika dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan perawatan di stroke unit. Pada pengobatan penderita dengan penyakit serebrovaskular seperti stroke sangat penting untuk menentukan jenis dari gangguan pada pembuluh darah tersebut. Penanggulangan harus dilakukan dengan cepat dan tepat. Therapeutic window untuk penanganan stroke yang memberi hasil yang maksimal tidak lebih dari 12 jam (sebaiknya tidak lebih dari 3-6 jam)dari saat mulainya serangan , paling baik dalam kurun waktu 1 jam, dan biasanya sudah terjadi infark serebri bila lebih dari 24 jam (24-48 jam)11,15.
Pertolongan pertama pada penderita stroke ditujukan untuk mencegah kerusakan otak lebih lanjut dan mempertahankan hidup penderita sebelum dilakukan pengobatan yang tepat. Pada setiap penderita yang terganggu kesadarannya berlaku pedoman dari kedokteran darurat, yaitu pedoman 5B. Pedoman 5B terdiri dari breathing, brain, blood, bladder, dan bowel11,15.
Breathing adalah upaya untuk melapangkan jalan nafas dan pernafasan penderita. Membersihkan jalan nafas penderita stroke dengan penurunan kesadaran dilakukan karena sering kali jalan nafasnya terhalang oleh lendir, muntahan pasien, lidah yang jatuh ke belakang, gigi palsu dan benda asing lainnya. Kalau perlu dapat dipasang pipa orofaring yang bertujuan untuk mencegah tersumbatnnya jalan nafas oleh lidah penderita yang jatuh ke belakang. Cegah terjadinya batuk dan keinginan mengedan karena dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Letakkan penderita dalam posisi terlentang atau miring bergantian dengan kepala sedikit diekstensikan. Penderita dibaringkan dengan kepala diletakkan lebih tinggi 200-300 yang bertujuan untuk memperlancar aliran pengosongan vena otak, menurunkan tekanan intrakranial, dan mencegah edema otak lebih lanjut. Hindari posisi yang dapat menyebabkan tejadinya peningkatan tekanan intrakranial, misalnya posisi telungkup, fleksi kepala atau rotasi kepala yang berlebihan, atau fleksi sendi panggul berlebihan. Jika terdapat banyak lendir yang menyumbat jalan nafas pasien maka kita dapat melakukan penghisapan lendir. Upaya penghisapan lendir juga bertujuan untuk mencegah terjadinya aspirasi dan infeksi paru-paru. Tindakan ini harus dilakukan dengan hati-hati dan dianjurkan jika pasien sudah diberikan antiedema otak. Tindakan penghisapan lendir ini dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Bila jalan nafas sudah bebas, penderita akan bernafas lebih baik dan bahkan sering terjadi hiperventilasi spontan. Pemeriksan analisis gas darah diperlukan untuk menentukan kualitas pernafasan. Pertahankan Pa O2 80-100 mmHg dan Pa CO2 25-30 mmHg. Berikan oksigen sungkup maupun kanul untuk dapat mencukupi kebutuhan oksigen tubuh terutama kebutuhan oksigen otak. Aliran darah ke otak akan meningkat seiring dengan penurunan Pa O2 dan peningkatan Pa CO2. Bila aliran darah ke otak meningkat maka edema otak semakin meningkat dan tekanan intrakranial akan semakin meningkat11,15.
Penatalaksanaan Blood dilakukan dengan beberapa tahap. Pada orang sehat (normotensif), penurunan tekanan darah arteri rata-rata (MABP) sampai 60-70 mmHg dan peningkatan sampai 150-160 mmHg masih dapat diatasi dengan autoregulasi otak. Pada penderita hipertensi kronis, batas atas dan batas bawah MABP ini akan bergeser ke kanan atau dengan kata lain penderita hipertensi akan lebih tahan terhadap tekanan darah yang relatif lebih tinggi dan kurang tahan terhadap tekanan darah yang lebih rendah. Sehingga penurunan tekanan darah hendaknya dikerjakan dengan hati-hati dan pada prinsipnya diturunkan sedikit dibawah tekanan darah sebelum stroke (pada stroke hemoragik) dan sedikit diatas tekanan darah sebalum stroke (pada stroke non hemoragik). Pada penderita pendarahan intraserebral sering timbul hipertensi akut yang terjadi beberapa jam setelah serangan dan dapat berlangsung 7-10 hari tanpa memiliki riwayat hipertensi sebelumnya. Ini terjadi akubat refleks cushing yang bertutujuan untuk mempertahankan Cerebral Blood Flow (CBF). Pertahankan MABP 120-140 mmHg atau menurunkan tekanan darah jangan melebihi 20-25% pada penderita stroke dengan tekanan darah sistolik lebih dari 200 mmHg. Pada penderita dengan tekanan darah diastolik >140 mmHg diperlakukan sebagai penderita hipertensi emergensi dengan diberika drip kontinu nikardipin, diltiazem, nimodipin, dan lainnya. Jika tekanan darah sistolik >220 mmHg dan / atau tekanan darah diastolik >120 mmHg berikan labetolol IV selam 1-2 menit. Dosis labetolol dapat diulangi atau digandakan setiap 10-20 menit sampai penurunan tekanan darah sampai tekanan darah yang memuaskan dapat dicapai atau sampai dosis kumulatif 300mg yang diberikan melalui teknik bolus mini. Setelah dosis awal, labetolol dapat diberikan setiap 6-8 jam bila diperlukan. Jika tekanan darah sistolik <220 mmHg dan / atau tekanan diastolik < 120 mmHg terapi darurat harus ditunda kecuali adanya bukti perdarahan intraserebral, gagal ventrikel jantung kiri, infark miokard akut, gagal gijal akut, edema paru, diseksi aorta, encefalopati hipertensi dan sebagainya. Jika peninggian tekanan darah tersebut menetap pada dua kali pengukuran selang waktu 60 menit, maka diberikan 200-300 mg labetolol 2-3 kali sehari sesuai kebutuhan. Pengobatan alternatif yang memuaskan selain labetolol adalah nifedipin oral 10 mg setiap 6 jam atau 25 mg kaptopril setiap 8 jam. Jika monoterapi oral tidak berhasil atau jika obat tidak dapat diberikan per oral maka diberikan labetolol IV seperti cara di atas atau obat pilihan lainnya. Batas penurunan tekanan darah sebanyak-banyaknya sampai 20-25 % dari tekanan darah arterial rerata pada jam pertama. Berikan cairan isotonis seperti 0,9 % salin dengan tujuan menjaga euvolemi. Tekanan vena central dipertahankan antara 5-12 mmHg. Pada umumnya kebutuhan cairan 30ml/kgBB/hari (parenteral maupun enteral). Pemberrian cairan hipotonis sebaiknya dihindari (misalnya dekstrosa 5%) karena dapat memperberat edema otak. Pada stroke direkomendasikan mempergunakan larutan saline normal (osmolaritas 308 mOs/L), pada keadaan asidosis hiperkloremik pemberian NaCl 0,9 % berlebihan dapat memperberat acidosis dan akhirnya akan memperberat edema otak, dan ringer laktat (osmolaritas 273 mOs/L walaupun lebih rendah dibandingkan osmolaritas tubuh tapi cukup baik. Hemodilusi yang isovolemik dilaksanakan secepatnya, yaitu 12 jam (12-24 jam) setelah stroke pada penderita dengan hematokrit ≥42%. Hemodilusi dilakukan hingga hematokrit mencapai 35%±311,15. Penatalaksaan brain ini bertujuan untuk mengurangi dan mencegah timbulnya edema otak serta mencegah dan menanggulangi kejang. Pada penderita stroke bila terjadi tanda-tanda peningkatan tekanan intrakaranial berupa penurunan kesadaran sebaiknya diberikan manitol. Bila kejang berikan diazepam bolus lambat IV 5- 20 mg dan diikuti fenitoin loading dose 15-20 mg/kgBB/hari oral atau IV, dengan kecepatan maksimim 50 mg/menit. Initial dosis 100mg oral atau IV 3xsehari, dengan dosis maintenance 300-400 mg oral/hari dengan dosis terbagi. Bila kejang belum teratasi maka perlu dirawat di ICU. Setiap penderita stroke yang disertai febris harus diobati dengan antipiretika dan diatasi penyebabnya. Berikan asetaminofen 650 mg bila suhu lebih dari 38,5 0C11,15 Penatalaksanaan blader dilakukan dengan perhatikan fungsi ginjal dengan melihat produksi urin dan pengukuran keseimbangan cairan. Upayakan pasien kencing minimal 3 kali per hari. Pada kasus dengan retensio urin dapat dipasang folley kateter, sedangkan pada pria dapat dipasang kondom kateter. Pada wanita hanya bisa dipasang folley kateter. Untuk masalah miksi sebaiknya dilakukan program bladder training secara dini. Kantong urin sebaiknya diganti setiap 48 jam untuk menghindari infeksi dan untuk memantau jumlah urin yang diproduksi11,15. Penatalaksanaan bowel dengan memberikan makanan yang memenuhi jumlah kalori (2000 kkal), elektrolit, dan vitamin. Nutrisi harus sudah diberikan dalam 48 jam dan nutrisi oral diberikan bila hasil tes menelan baik. Bila ada gangguan menelan harus dipasang pipa nasogastrik. Pada keadaan akut kebutuhan kalori pasien adalah 25-30 kkal/kgBB/hari dengan komposisi karbohidrat 30-40% dai total kalori, lemak 20-35% (35-55% bila ada gangguan nafas) dari total kalori, protein 20-30% (1,4-2 g/kgBB/hari bila dalam keadaan stress; 0,8 bila ada gangguan fungsi ginjal). Hindari obstipasi dengan pemberian gliserin atau enema yang lain ke dalam rectum sekali dalam 2-3 hari bila penderita tidak dapat defekasi. Dianjurkan pemberian cairan dalam bentuk koloid, kristaloid atau darah. Jangan menggunakan cairan hipotonis atau dextrose in water. Hindari terjadinya hipovolemi (gejala hipovolemi yaitu takikardi, mukosa mulut kering, peningkatan kadar elektrolit terutama Na, dan peningkatan kadar ureum). Jika ada febris tingkatkan jumlah cairan yang diberikan. Pada kenaikan suhu 10C cairan ditambahkan 12-15 %. Hindari hiperglikemi dengan mempertahankan kadar glukosa serum <140 mg/dl. Hindari terjadinya hiperkolesterol pada pasien dengan stroke. Hiperkolesterol merupakan proses awal dari terjadinya aterosklerosis. Pasien dengan stroke iskhemik harus dievaluasi adanya hiperkolesterol. Pada fase akut dari stroke kadar kolesterol dapat ditemukan dengan hasil yang rendah. Teori terbaru dari terjadinya aterosklerosis adalah proses oksidatif LDL. Statin adalah obat yang dikenal potensial menurunkan LDL. Atorvastatin metabolit mampu mempertahankan formasi membran kolesterol dan menghambat proses stress oksidatif. Atorvastatin juga berfungsi sebagai antioksidan yang amat poten mencegah LDL yang teroksidasi11,15. Penatalaksaan Stroke Iskhemik Trombus Pada prinsipnya penatalaksanaan stroke iskhemik dapat dibagi menjadi 2, yaitu terapi yang bertujuan untuk melakukan reperfusi atau revaskularisasi aliran darah otak dan pemberian neuroprotektan. Terapi khusus ini bertujuan untuk mencegah terbentuknya radikal bebas dan mengendalikan faktor risiko yang ada pada pasien. Terapi reperfusi terdiri dari trombolitik, antikoagulan, antiplatelet, dan endovascular intervention (cerebral neurovascular angioplasty with stenting) 11,15. Obat trombolitik yang direkomendasikan oleh FDA adalah r-tPA. Obat ini diberikan dalam 3 jam setelah gejala stroke. Dosis pemberian r-tPA adalah 0,9 mg/kgBB maksimal 90 mg dengan 10% dari dosis yang diberikan sebagai bolus dan sisanya lewat infus selama 60 menit. Pemberian r-tPA. Pemberian r-tPA dapat dilakukan melalui arteri maupun vena. Pemberian r-tPA harus memenuhi kriteria inklusi yaitu: stroke iskhemik akut yang onsetnya diketahui jelas dan tidak melebihi 3 jam, usia > 18 tahun dan < 75 tahun, diagnosis stroke iskhemik dibuat oleh ahli stroke dan CT-scan, dan harus ada persetujuan tertulis dari penderita atau keluarganya setelah diterangkan risiko bahaya perdarahan dan keuntungan pengobatan r-tPA. Recombinant tissue plasminogen activator adalah sebuah protein yang berperan dalam proses penghancuran bekuan darah. Protein ini bernama serine protease yang ditemukan pada sel endotel. Sel endotel adalah sel yang melapisi pembuluh darah. Layaknya enzim yang lain, protein ini mengkatalisasi perubahan plasminogen menjadi plasmin. Plasmin merupakan enzim yang bertanggung jawab dalam penghancuran bekuan darah. Recombinant tissue plasminogen activator digunakan dalam penatatalaksanaan stroke non hemoragik yang disebabkan emboli dan thrombus. Kontraindikasi penggunaan obat ini adalah pada stroke hemoragik dan trauma kepala11,15. Obat antiplatlet merupakan obat yang berfungsi mencegah terjadinya agregasi trombosit. Obat anti agregasi platelet yang biasanya diberikan adalah asam asetil salisilat (ASA atau asetosal) dosis rendah yaitu 100- 300mg/hari (650mg/hari) dalam dosis yang terbagi. ASA mempunyai efek antiagregasi platelet yang kuat dan kemampuan menurunkan viskositas darah yang ringan. ASA menghambat secara irreversible siklooksigenase trombosit dengan cara acetylating dan mengurangi pembentukan tromboksan A2 (suatu stimulator kuat aktivasi trombosit). ASA menghambat trombosit selama hidupnya ( 9-13 hari). Jadi satu dosis tunggal terapetik akan mengakibatkan kerusakan trombosit selama 1 minggu. Obat antiagregasi diberikan selama 2 tahun bila tidak tersedia fasilitas penunjang untuk memeriksa viskositas darah dan kemampuan agregasi. Obat anti agregasi platelet biasanya diberikan segera setelah mendapat serangan stroke non-hemoragik yang dibuktikan dengan CT-scan. Bila tidak tersedia fasilitas untuk pemeriksaan CT-scan, obat antiagregasi platelet biasanya diberikan mulai hari ke lima setelah disingkirkan kemungkinan terjadinya stroke hemoragik11,15. Banyak kontroversi mengenai pemakaian antikoagulan seperti warfarin, kumarin, atau heparin untuk penatalaksanaan stroke. Obat – obat antikoagualan berperan dalam pencegahan pembentukan fibrin (anti fibrin) yang berfungsi dalam pembentukan bekuan darah. Dahulu obat-obatan ini dipertimbangkan penggunaannya pada TIA atau stroke emboli untuk mencegah embolisasi berulang. Sekarang tidak dianjurkan lagi karena sering menimbulkan pendarahan serebral11,15. Pemberian neuroprotektan merupakan salah satu bagian dari terapi stroke iskhemik. Citicoline dan piracetam merupakan contoh obat yang berfungsi sebagai neuroprotektan. Citicoline bekerja pada level neuronal dan pembuluh darah. Pada level neuronal citicoline meningkatkan pembentukan choline dan menghambat penghancuran phospatydilcholine (menghambat phospholipase), meningkatkan ambilan glukosa, menurunkan pembentukan asetilkolin, menghambat radikalisasi asam lemak dalam keadaan ischemia, meningkatkan biosintesa dan mencegah hidrolisis kardiolipin, merangsang pembentukan glutation yang merupakan antioksidan endogen otak terhadap radikal bebas, mengurangi peroksidasi lipid, dan mengembalikan aktivitas Na+/K+ ATP ase. Pada level pembuluh darah citicoline bekerja meningkatkan aliran darah ke otak, meningkatkan konsumsi O2, dan menurunkan resistensi vascular. Indikasi penggunaan citicilone, yaitu stroke iskhemik dalam ≤ 24 jam pertama dari onset dan stroke hemoragik intraserebral. Pada stroke iskhemik citicoline dapat diberikan dengan dosis 250 – 1000 mg/hari, IV terbagi dalam 2-3 kali/hari selama 2-14 hari, bila perlu dapat diberukan hingga 6-8 minggu. Piracetam bekerja pada level neuronal dan pembuluh darah. Pada level neuronal piracetam berkaitan dengan kepala polar phospholipids membrane, memperbaiki fluiditas membrane sel, memperbaiki neurotransmisi, menstimulasi adenylate kinase yang mengkatalisa konversi ADP menjadi ATP. Sedangkan pada level pembuluh darah piracetam meningkatkan deformabilitas eritrosit maka aliran darah ke otak akan meningkat, mengurangi hiperagregasi platelet, dan memperbaiki mikrosirkulasi. Indikasi stroke iskhemik akut dalam 7 jam pertama dari onset stroke11,15. 2.5 Program Pencegahan Stroke Tidak ada penatalaksaan stroke yang mampu mencegah terjadinya stroke berulang. Pencegahan adalah upaya yang paling efektif untuk menghindari kematian dan kecacatan akibat dari stroke. Program pencegahan stroke terdiri dari promosi kesehatan, upaya pencegahan primer, dan upaya pencegahan sekunder. Promosi kesehatan adalah upaya untuk memperkenalkan bagaimana menerapkan pola hidup sehat kepada masyarakat. Gaya hidup sehat, yaitu mengatur pola makan yang sehat, olah raga yang teratur, istirahat yang cukup, menghindari dan menghentikan merokok, menghindari dan menghentikan minum alkohol, dan menghindari stress15. Pencegahan primer pada stroke meliputi upaya memperbaiki gaya hidup dan mengatasi berbagai faktor risiko. Upaya ini ditujukan pada orang sehat maupun kelompok risiko tinggi yang belum pernah terserang stroke. Upaya pencegahan primer terdiri dari mengatur pola makan yang sehat, melakukan olah raga yang teratur, menghentikan penggunaan rokok, menghindari minum alkohol dan penyalahgunaan obat, memelihara badan yang layak, menghentikan pemakaian kontrasepsi oral dan mencari alternatif lain untuk KB, penanganan stress dan beristirahat yang cukup, pemeriksaan kesehatan yang teratur dan mentaati saran dokter dalam hal diet dan minum obat yang teratur untuk mengendalikan faktor risiko yang telah ada (diabetes mellitus dan hipertensi), dan pemakaian antiplatelet (asetosal)15. Upaya pencegahan sekunder ditujukan pada orang yang menderita stroke, memiliki riwayat stroke, dan memiliki riwayat Transient Ischemik Attact (TIA). Upaya pencegahan stroke sekunder, yaitu menerapkan pola hidup sehat (mengatur pola makan yang sehat, olah raga yang teratur, istirahat yang cukup, menghindari dan menghentikan merokok, menghindari dan menghentikan minum alkohol, dan menghindari stress), mengontrol faktor risiko yang sudah ada, memakai anti trombotik atau anti agregasi platelet (asetosal), trhombektomy atau carotid endarterectomy, angioplasti, dan stenting15. 2.6 Program Rehabilitasi Medik pada Penderita Stroke Fase awal Tujuannya adalah untuk mencegah komplikasi sekunder dan melindungi fungsi yang tersisa. Program ini dimulai sedini mungkin setelah keadaan umum memungkinkan dimulainya rehabilitasi. Hal-hal yang dapat dikerjakan adalah proper bed positioning, latihan luas gerak sendi, stimulasi elektrikal dan begitu penderita sadar dimulai penanganan masalah emosional2. Fase lanjutan Tujuannya adalah unyuk mencapai kemandirian fungsional dalam mobilisasi dan aktifitas kegiatan sehari-hari (AKS). Fase ini dimulai pada waktu penderita secara medik telah stabil. Biasanya penderita dengan stroke trombotik atau embolik, biasanya mobilisasi dimulai pada 2-3 hari setelah stroke. Penderita dengan perdarahan subarakhnoid mobilisasi dimulai 10-15 hari setelah stroke. Program pada fase ini meliputi2 : 1. Fisioterapi Stimulasi elektrikal untuk otot-otot dengan kekuatan otot (kekuatan 2 kebawah). Diberikan terapi panas superficial (infra red) untuk melemaskan otot. Latihan gerak sendi bisa pasif, aktif dibantuatau aktif tergantung dari kekuatan otot. Latihan untuk meningkatkan kekuatan otot. Latihan fasilitasi / redukasi otot dan mobilisasi. 2. Okupasi Terapi (aktifitas kehidupan sehari-hari/AKS) Sebagian besar penderita stroke dapat mencapai kemandirian dalam AKS, meskipun pemulihan fungsi neurologis pada ekstremitas yang terkena belum tentu baik. Dengan alat bantu yang disesuaikan, AKS dengan menggunakan satu tangan secara mandiri dapat dikerjakan. Kemandirian dapat dipermudah dengan pemakaian alat-alat yang disesuaikan. 3. Terapi Bicara Penderita stroke sering mengalami gangguan bicara dan komunikasi. Ini dapat ditangani oleh speech therapist dengan cara: latihan pernapasan ( pre speech training ) berupa latihan napas, menelan, meniup, latihan gerak bibir, lidah dan tenggorokan. Latihan di depan cermin untuk latihan gerakan lidah, bibir dan mengucapkan kata-kata. Latihan pada penderita disartria lebih ditekankan ke artikulasi mengucapkan kata-kata. Pelaksanaan terapi adalah tim medik dan keluarga. 4. Ortotik Prostetik Pada penderita stroke dapat digunakan alat bantu atau alat ganti dalam membantu transfer dan ambulasi penderita. Alat-alat yang sering digunakan antara lain : arm sling, hand sling, walker, wheel chair, knee back slap, short leg brace, cock-up, ankle foot orthotic (AFO), dan knee ankle foot orthotic (KAFO). 5. Psikologi Semua penderita dengan gangguan fungsional yang akut akan melampaui serial fase psikologis, yaitu: fase shok, fase penolakan, fase penyesuaian dan fase penerimaan. Sebagian penderita mengalami fase-fase tersebut secara cepat, sedangkan sebagian lagi mengalami secara lambat, berhenti pada salah satu fase, bahkan kembali ke fase yang telah lewat. Penderita harus berada pada fase psikologis yang sesuai untuk dapat menerima rehabilitasi. 6. Sosial Medik dan Vokasional Pekerja sosial medik dapat memulai bekerja dengan wawancara keluarga, keterangan tentang pekerjaan, kegemaran, sosial, ekonomi dan lingkungan hidup serta keadaan rumah penderita 2.6 Prognosis Prognosis menurut Harsono (1996) dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu tingkat kesadaran (sadar 16 % meninggal, somnolen 39 % meninggal, yang stupor 71 % meninggal, dan bila koma 100 % meninggal), usia: (pada usia 70 tahun atau lebih, angka – angka kematian meningkat tajam), jenis kelamin (laki – laki lebih banyak 16 % yang meninggal dari pada perempuan 39 %), tekanan darah: (tekanan darah tinggi prognosis jelek), dan cepat dan tepatnya pertolongan14. Pada umumnya prognosis stroke non hemoragik lebih baik jika dibandingkan dengan stroke hemoragik. Namun jika pasien dengan stroke hemoragik bisa selamat, pemulihannya akan lebih cepat jika dibandingkan dengan stroke non hemoragik. BAB III RINGKASAN Menurut WHO, stroke adalah tanda-tanda klinis mengenai gangguan fungsi serebral secara fokal ataupun global, yang berkembang dengan cepat, dengan gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih, atau mengarah ke kematian tanpa penyebab yang kelihatan, selain tanda-tanda yang berkenaan dengan aliran darah di otak. Adanya distribusi khusus terjadinya aterosklerosis diatas sebenarnya disebabkan karena adanya haeomodynamics shear stress dan trauma endotel pembuluh darah pada daerah tersebut. Atheroslerotik adalah suatu proses kronik yang diawali dengan deposit lipid dan injuri dinding pembuluh darah yang menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, terjadinya proses inflamasi, dan infiltrasi monosit serta leukosit. Infiltrasi monosit dan leukosit akan mengakumulasikan lipid yang terokdidasi untuk membentuk makrofag dan foam sel dan akan memicu pembentukan fatty sreaks. Hal ini akan dilanjutkan dengan pemanggilan sel otot polos pembuluh darah untuk membentuk fibrous cap yang kompak. Respon inflamasi kronik yang disertai jaringan fibrus ini mengandung necrotic pool berupa lipid, leukosit dan debris dan menyebabkan pertumbuhan progresif lesi aterosklerotik Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan penunjang kita bisa tentukan diagnosis topis dan diagnosis kerja serta diagnosis bandingnya Pertolongan pertama pada penderita stroke ditujukan untuk mencegah kerusakan otak lebih lanjut dan mempertahankan hidup penderita sebelum dilakukan pengobatan yang tepat. Pada setiap penderita yang terganggu kesadarannya berlaku pedoman dari kedokteran darurat, yaitu pedoman 5B. Pedoman 5B terdiri dari breathing, brain, blood, bladder, dan bowel. Pada prinsipnya penatalaksanaan stroke iskhemik dapat dibagi menjadi 2, yaitu terapi yang bertujuan untuk melakukan reperfusi atau revaskularisasi aliran darah otak dan pemberian neuroprotektan. Terapi khusus ini bertujuan untuk mencegah terbentuknya radikal bebas dan mengendalikan factor risiko yang ada pada pasien. Terapi reperfusi terdiri dari trombolitik, antikoagulan, antiplatelet, dan endovascular intervention (cerebral neurovascular angioplasty with stenting). Program rehabilitasi medik pada penderita stroke. Fase awal tujuannya adalah untuk mencegah komplikasi sekunder dan melindungi fungsi yang tersisa. Fase lanjutant ujuannya adalah unyuk mencapai kemandirian fungsional dalam mobilisasi dan aktifitas kegiatan sehari-hari (AKS). Prognosis dipengaruhi beberapa factor seperti Tingkat kesadaran, usia, jenis kelamin, tekanan darah cepat dan tepatnya pertolongan DAFTAR PUSTAKA Alain Tedgui, et al. 2006. Cytokines in Atherosclerosis Pathogenic and Regulatory Pathways. Http://physrev.physiology.org Angliadi LS. Rehabilitasi Medik Pada Stroke. Proceeding symposium stroke up date. Manado. Perdosi, 2001. Fuhrman, Jane, dan Julio.1995. Consumption of Red Wine with Meals Reduces the Susceptibility of Human Plasma and Low-Density Lipoprotein to Lipid Peroxidation .Journak Clinical Nutrition.61:549-54. Guiton and Hall. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : Buku Kedokteran EGC Japardi,Iskandar. 2002. Patofisiologi stroke Infark Akibat Tromboemboli.USU digital library Kompas. Senin, 29 Juni 2009 | 03:59 WIB. Stroke Penyebab Kematian Tertinggi. Jakarta : Kompas Kumar,V.,Cotran,R.S.,dan Robbins,S.L.2003. Buku Ajar Patologi. Penerjemah Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari : Robbins basic Pathology 7 th ed Laroux FS, et al. 2001.Role of Nitric Oxide in Inflammation. Acta Physiol Scand. 173: 113. Nassisi D., 2008. Stroke, Hemorrhagic. Departement of Emergency Medicine, Mount Sinai Medical Center. Available from:http://emedicine.medscape.com/article/793821-overview Nuarta,AA Bgs Ngr,1994.Beberapa Aspek Diagnostik dan Penatalaksanaan Stroke Akut. Denpasar : Laboratorium Neurologi Fakultas Kedokteran UNUD Sang Surya & Ridwan Amiruddin. 2008. Epidemiologi Stroke.www.new paradigma for public healt.com Warlow, C., van Gijn, J., Dennis, M., Wardlaw, J., Bamford, J., Hankey, G., 2008. Stroke: Practical Management 3rdedition. Massachusetts: Blackwell Publishing. Yayasan Stroke Indonesia. Tahun 2020, Penderita Stroke Meningkat 2 Kali. Jakarta: Yayasan Stroke Indonesia. Available from: http://www.yastroki.or.id/berita.php?id=4

ABORTUS INKOMPLIT

BAB I
PENDAHULUAN

Salah satu kejadian yang paling sering terjadi dalam bidang kebidanan dan kandungan dengan keluhan adanya perdarahan pervaginam yakni terjadinya abortus. Abortus inkomplit dapat didefinisikan sebagai pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan masih ada sisa tertinggal dalam uterus.1Kejadian abortus inkomplit ini diperkirakan terjadi pada 10-15% kehamilan. Abortus inkomplit memiliki komplikasi yang dapat mengancam keselamatan ibu karena adanya perdarahan yang masif yang bisa menimbulkan kematian akibat adanya syok hipovolemik apabila keadaan ini tidak mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat. Seorang ibu hamil yang mengalami abortus inkomplit dapat mengalami guncangan psikis tidak hanya pada ibu namun juga pada keluarganya, terutama pada keluarga yang sangat menginginkan anak.2
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) diperkirakan 4,2 juta abortus dilakukan setiap tahun di Asia Tenggara, dengan perincian :1,3 juta dilakukan di Vietnam dan Singapura,750.000 sampai 1,5 juta di Indonesia,155.000 sampai 750.000 di Filipina dan 300.000 sampai 900.000 di Thailand, namun tidak dikemukakan perkiraan tentang abortus di Kamboja, Laos dan Myanmar. Hasil survei yang diselenggarakan oleh suatu lembaga penelitian di New York yang dimuat dalam International Family Planning Perspectives, Juni 1997, memberikan gambaran lebih lanjut tentang abortus di Asia Selatan dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Abortus di Indonesia dilakukan Baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. Dan dilakukan tidak hanya oleh mereka yang mampu tapi juga oleh mereka yang kurang mampu Di perkotaan abortus dilakukan 24-57% oleh dokter,16-28% oleh bidan/ perawat, 19-25% oleh dukun dan 18-24% dilakukan sendiri. Sedangkan, di pedesaan abortus dilakukan 13-26% oleh dokter, 18-26% oleh bidan/perawat, 31-47% oleh dukun dan 17-22% dilakukan sendiri. Cara abortus yang dilakukan oleh dokter dan bidan/perawat adalah berturut-turut: kuret isap (91%), dilatasi dan kuretase (30%) sertas prostaglandin / suntikan (4%). Abortus yang dilakukan sendiri atau dukun memakai obat/hormon (8%), jamu/obat tradisional (33%), alat lain (17%) dan pemijatan (79%). Survei yang dilakukan di beberapa klinik di Jakarta, Medan, Surabaya dan Denpasar menunjukkan bahwa abortus dilakukan 89% pada wanita yang sudah menikah, 11% pada wanita yang belum menikah dengan perincian: 45% akan menikah kemudian, 55% belum ada rencana menikah. Sedangkan golongan umur mereka yang melakukan abortus: 34% berusia antara 30-46 tahun, 51% berusia antara 20-29 tahun dan sisanya 15% berusia di bawah 20 tahun.
Abortus inkomplit sering terjadi pada wanita hamil apabila dilakukan penanganan yang cepat dan tepat maka komplikasi yang timbul dapat diminimalkan. Namun, apabila abortus ini tidak ditangani dengan baik maka dapat menimbulkan kematian ibu. Oleh karena itu, abortus inkomplit adalah topik yang penting dan menarik yang harus dikuasai oleh dokter ataupun pekerja medis yang lain.
Dalam tinjauan kasus ini akan dibahas bagaimana teori tentang abortus inkomplit, laporan kasus, dan pembahasan kasus, apakah sudah sesuai dengan teori, atau belum. Diharapkan dengan tinjauan kasus ini dapat dimengerti lebih baik tentang abortus inkomplit sehingga apabila kita menjumpai kasus ini, kita dapat melakukan tindakan penanganan yang cepat dan tepat.


















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Istilah abortus dipakai untuk menunjukkan pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup diluar kandungan. Abortus adalah berakhirnya kehamilan sebelum viabel, disertai atau tanpa pengeluaran hasil konsepsi. Sampai saat ini janin yang terkecil dilaporkan dapat hidup diluar rahim, mempunyai berat badan 297 gram waktu lahir. Akan tetapi, karena jarangnya janin yang dilahirkan dengan berat badan dibawah 500 gram dapat hidup terus maka abortus dapat ditentukan sebagai pengakhiran kehamilan sebelum janin dapat mencapai berat 500 gram atau kurang dari 20 minggu.1 Menurut WHO, abortus didefinisikan sebagai penghentian kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar kandungan atau berat janin kurang dari 500 gram. Sedangkan abortus inkomplit adalah pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan masih ada sisa jaringan yang tertinggal di dalam uterus 2.

2.2 Epidemiologi
Di Amerika serikat banyak kehamilan tidak viable, dengan perkiraan kematian 50% sebelum keterlambatan pertama periode menstruasi. Kehamilan ini biasanya tidak menunjukan gejala klinis. Aborstus spontan yang klasik ditunjukan secara klinis (dengan tes darah, USG) kematian janin sebelum usia 20 minggu. Perkiraan terjadinya 10-15% kehamilan.3 Morbiditas abortus inkomplit sama dengan abortus spontan dan termasuk perdarahan, infeksi, dan dipertahankannya produk konsepsi. Data survilance dari kehamilan yang dihubungkan dengan kematian pada 1987-1990 didapatkan dari total 1459 kematian di Amerika Serikat. Dari data kematian tersebut abortus terjadi sekitar 5,6% 3,4.
Angka kejadian sama pada semua ras. Data survilance dari data kehamilan yang dihubungkan dengan kematian (1987-1990) menunjukan kematian lebih banyak disebabkan oleh kehamilan ektopik dan abortus pada wanita Afrika-Amerika dibandingkan wanita Kaukasian. 14% dari kehamilan yang dihubungkan dengan kematian pada wanita kulit hitam yang disebabkan oleh kehamilan ektopik; 7% disebabkan oleh abortus. Diantara wanita kulit putih, data menunjukkan 8% menunjukan dari kehamilan yang menunjukan kematian disebabkan oleh kehamilan ektopik, 4% disebabkan oleh abortus 4,5
Kegagalan kehamilan meningkat sesuai dengan umur dan peningkatan yang signifikan pada wanita yang berumur lebih dari 40 tahun, umur dan peningkatan paritas menyebabkan peningkatan resiko kematian janin pada wanita kurang dari 20 tahun, kejadian kematian janin diperkirakan 12% dari kehamilan. Pada wanita yang berumur lebih dari 20 tahun, kejadian kematian janin diperkirakan 26% dari kehamilan.1,2 Umur secara langsung berpengaruh pada oocyte. Saat oocyte dari wanita muda dipergunakan untuk membuat embrio untuk diberikan pada penerima yang lebih tua, rata-rata implantasi dan rata-rata ekspresi kehamilan terlihat pada wanita yang lebih muda; angka kematian janin dan abnormalitas kromosom menurun, akibat tidak beresponnya uterus pada wanita usia reproduktif yang lebih tua 3.

2.3 Etiologi
Pada kehamilan muda abortus tidak jarang didahului oleh kematian mudigah. Sebaliknya, pada kehamilan lebih lanjut biasanya janin dikeluarkan dalam keadaan masih hidup. Hal-hal yang menyebabkan abortus dapat dibagi sebagai berikut 1,2.
Faktor Fetal
a. Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi
Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi dapat menyebabkan kematian janin atau cacat. Kelainan berat biasanya menyebabkan kematian mudigah pada hamil-hamil muda. Faktor-faktor yang menyebabkan kelainan dalam pertumbuhan diantaranya (1) Kelainan kromosom. Kelainan yang sering ditemukan pada abortus spontan ialah trisomi, poliploidi dan kemungkinan pula kelainan kromosom seks (2) Lingkungan kurang sempurna. Bila lingkungan di endometrium disekitar tempat implantasi kurang sempurna, pemberian zat-zat makanan pada hasil konsepsi akan terganggu (3) Pengaruh dari luar. Radiasi, virus, obat-obat, dan sebagainya dapat mempengaruhi baik hasil konsepsi maupun lingkungan hidupnya dalam uterus. Pengaruh ini umumnya dinamakan pengaruh teratogen.
b. Kelainan plasenta
Endarteritis dapat terjadi pada vili koriales dan menyebabkan oksigenisasi plasenta terganggu, sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan dan kematian janin. Keadaan ini bisa terjadi sejak kehamilan muda misalnya karena hipertensi menahun.
Faktor Maternal
Biasanya penyakit maternal berkaitan dengan abortus euploidi. Peristiwa abortus tersebut mencapai puncaknya pada kehamilan 13 minggu, karena pada saat terjadinya abortus lebih belakangan, pada sebagian kasus dapat ditentukan etiologi abortus yang dapat dikoreksi. Sejumlah penyakit, kondisi kejiwaan dan kelainan perkembangan pernah terlibat dalam peristiwa abortus euploidi.
Penyakit mendadak seperti pneumonia, tifus abdominalis, pielonefritis, malaria dan lain-lain dapat menyebakan abortus. Toksin, bakteri, virus, atau plasmodium dapat melalui plasenta masuk ke janin, sehingga menyebabkan kematian janin, dan kemudian terjadilah abortus. Anemia berat, keracunan, laparotomi, peritonitis umum, dan penyakit menahun seperti brusellosis, mononukleosis, infeksiosa, toksoplasmosis, juga dapat menyebabkan abortus walaupun lebih jarang.
a. Infeksi
Organisme seperti Treponema pallidum, Chlamydia trachomatis, Neisseria gonorhoe, Streptococcus agalatica, virus herpes simplek, cytomegalovirus listeria monocytogenes dicurigai berperan sebagai penyebab abortus. Toxoplasma juga disebutkan dapat menyebabkan abortus. Isolasi Mycoplasma hominis dan Ureaplasma urelyticum dari traktus genetalia sebagian wanita yang mengalami abortus telah menghasilkan hipotesis yang menyatakan bahwainfeksi mikoplasma yang menyangkut traktus genetalia dapat menyebabkan abortus. Dari kedua organisme tersebut, Ureaplasma arelyticum merupakan penyebab utama.
b. Penyakit-penyakit kronis yang melemahkan
Pada awal kehamilan, penyakit-penyakit kronis yang melemahkan keadaan ibu, misalnya penyakit tuberculosis atau karsinomatosis jarang menyebabkan abortus. Hipertensi jarang disertai dengan abortus pada kehamilan 20 minggu, tetapi keadaan ini dapat menyebabkan kematian janin dan persalinan premature. Diabetes pada maternal pernah ditemukan oleh sebagian peneliti sebagai faktor predisposisi abortus spontan, tetapi kejadian ini tidak ditemukan oleh peneliti lainnya.
c. Pengaruh endokrin
Kenaikan insiden abortus bisa disebabkan oleh hipertiroidisme, diabetes mellitus dan defisiensi progesterone. Diabetes tidak menyebabkan abortus jika kadar gula dapat dikendalikan dengan baik. Defisiensi progesteron karena kurangnya sekresi hormon tersebut dari korpus luteum atau plasenta mempunyai hubungan dengan kenaikan insiden abortus. Karena progesteron berfungsi mempertahankan desidua, defisiensi hormon tersebut secara teoritis akan mengganggu nutrisi pada hasil konsepsi dan dengan demikian turut berperan dalam proses kematiannya.
d. Nutrisi
Pada saat ini, hanya malnutrisi umum sangat berat yang paling besar kemungkinannya menjadi faktor predisposisi meningkatnya kemungkinan abortus. Meskipun demikian tidak didapatkan bukti yang menyatakan bahwa defisiensi salah satu nutrien dalam makanan atau defisiensi semua nutrien merupakan penyebab abortus yang penting. Nausea serta vomitus yang lebih sering ditemukan selama awal kehamilan dan setiap deplesi nutrien yang ditimbulkan , jarang diikuti dengan abortus spontan. Sebagian besar mikronutrien pernah dilaporkan sebagai unsur yang penting untuk mengurangi abortus spontan. Meskipun demikian, bukti-bukti yang disajikan untuk mendukung pernyataan itu ternyata lemah atau tidak ada.
e. Obat-obatan rekreasional dan Toksin lingkungan.
Peranan penggunaan obat-obatan rekreasional tertentu yang dianggap teratogenik harus dicari dari anamnesa seperti tembakau dan alkohol, yang berperan karena jika ada mungkin hal ini merupakan salah satu yang berperan.
f. Faktor imunologis
Faktor imunologis yang telah terbukti signifikan dapat menyebabkan abortus spontan yang berulang antara lain: antibodi antinuklear, antikoagulan lupus dan antibodi cardiolipin. yang mengakibatkan destruksi vaskuler, trombosis, abortus serta destruksi plasenta. Inkompatibilitas golongan darah A, B, O, dengan reaksi antigen antibodi dapat menyebabkan abortus berulang, karena pelepasan histamin mengakibatkan vasodilatasi dan peningkatan fragilitas kapiler.
g. Gamet yang menua
Baik umur sperma maupun ovum dapat mempengaruhi angka imsiden abortus spontan. Insiden abortus meningkat terhadap kehamilan yang berhasil bila inseminasi terjadi empat hari sebelum atau tiga hari sesudah terjadi peralihan temperature basal tubuh, karena iu disimpulkan bahwa gamet yang bertambah tua dalam traktus genitalis wanita sebelum fertilisasi dapat menaikkan kemungkinan terjadinya abortus. Beberapa percobaan binatang juga selaras dengan hasil observasi tersebut.
h. Trauma Fisik dan trauma Emosional
Kebanyakan abortus spontan terjamdi beberapa saat setelah kematian embrio atau kematian janin. Jika abortus disebabkan khususnya oleh trauma, kemungkinan kecelakaan tersebut bukan peristiwa yang baru terjadi tapi masih merupakan kejadian yang terjadi beberapa minggu sebelum abortus. Abortus yang disebabkan trauma emosional bersifat spekulatif, tidak ada dasar yang mendukung konsep abortus, dipengaruhi oleh rasa ketakutan, marah, ataupun cemas.
i. Kelainan Uterus
Kelainan uterus dapat dibagi menjadi kelahiran akuisita dan kelahiran yang timbul dalam proses perkembangan janin, serta merupakan akibat dari kelainan spontan (anomalimullerian) atau kelahiran yang ditimbulkan oleh pemberian dietilstilbestrol (DES ). Cacat uterus akuisita yang berkaitan dengan abortus adalah leiomioma dan perlekatan intrauteri. Bahkan leiomioma uterus yang besar dan majemuk sekalipun tidak selalu disertai abortus, serta lokasi leiomioma tampaknya lebih penting daripada ukurannya. Mioma submokosa, tapi bukan mioma intramural atau subserosa, lebih besar kemungkinannya umtuk menyebabkan abortus. Namun demikian, leiomioma dapat dianggap sebagai faktor penyebab hanya bila hasil pemeriksaan klinis lainnya ternyata dianggap negatif. Dan histogram menunjukkan adanya defek pengisian dalam kavum endometrium. Miomektomi yang mengangkat tumor tersebut sering mengakibatkan jaringan parut uterus yang dapat mengalami ruptur pada kehamilan berikutnya, sebelum atau selama persalinan. Perlekatan intrauteri (sinekia atau simdrom Asherman) paling sering terjadi akibat tindakan kuretase pada abortus yang terinfeksi atau pada missed abortus atau mungkin pula akibat komplikasi postpartum. Keadaan tersebut disebabkan oleh destruksi endometrium yang kurang memadai untuk mendukung implantasi hasil pembuahan. Defek perkembangan uterus merupakan akibat pembentukan atau fusi duktus mulleri yang abnormal. Abnormalitas duktus mulleri dapat terjadi spontan atau disebabkan oleh pemberian preparat dietilstilbestrol (DBS) ke dalam uterus. Wanita dengan uterus unikomis dan wanita dengan uterus septus atau uterus bikornis mempunyai angka abortus yang paling tinggi.
j. Inkompetensi Serviks
Kejadian abortus pada uterus dengan serviks yang inkompeten biasanya terjadi pada trisemester kedua. Ekspulsi jaringan konsepsi terjadi setelah membran plasenta mengalami ruptur pada prolapsus yang disertai dengan balloning membran plasenta ke dalam vagina.
Faktor Paternal
Hanya sedikit yang diketahui tentang peranan faktor paternal dalam proses timbulnya abortus. Yang pasti translokasi kromosom dalam sperma dalam menimbulkan zigot yang mendapat bahan kromosom terlalu sedikit atau terlalu banyak, sehingga terjadi abortus.

2.4 Patofisiologi
Pada awal abortus terjadilah perdarahan dalam desidua basalis kemudian diikuti oleh nekrosis jaringan sekitarnya. Hal tersebut menyebabkan hasil konsepsi terlepas sebagian atau seluruhnya sehingga merupakan benda asing dalam uterus. Keadaan ini menyebabkan uterus berkontraksi untuk mengeluarkan isinya. Pada kehamilan kurang dari 8 minggu hasil konsepsi itu biasanya dikeluarkan seluruhnya karena vili koriales belum menembus desidua secara mendalam. Pada kehamilan antara 8 sampai 14 minggu villi koriales menembus desidua lebih dalam, sehingga umumnya plasenta tidak dilepaskan sempurna yang dapat menyebabkan banyak perdarahan. Pada kehamilan 14 minggu keatas umumnya yang dikeluarkan setelah ketuban pecah ialah janin, disusul beberapa waktu kemudian plasenta. Perdarahan tidak banyak jika plasenta segera terlepas dengan lengkap. 2,6
2.5 Gambaran Klinis
Gejala umum yang merupakan keluhan utama berupa perdarahan pervaginam derajat sedang sampai berat disertai dengan kram pada perut bagian bawah, bahkan sampai ke punggung. Janin kemungkinan sudah keluar bersama-sama plasenta pada abortus yang terjadi sebelum minggu ke-10, tetapi sesudah usia kehamilan 10 minggu, pengeluaran janin dan plasenta akan terpisah. Bila plasenta, seluruhnya atau sebagian tetap tertinggal dalam uterus, maka pendarahan cepat atau lambat akan terjadi dan memberikan gejala utama abortus inkompletus. Sedangkan pada abortus dalam usia kehamilan yang lebih lanjut, sering pendarahan berlangsung amat banyak dan kadang-kadang masif sehingga terjadi hipovolemik berat5,7.

2.6 Diagnosis
Diagnosis abortus inkomplit ditegakkan berdasarkan gambaran klinis melalui anamnesis dan hasil pemeriksaan fisik, setelah menyingkirkan kemungkinan diagnosis banding lain. Pemeriksaan fisik mengenai status ginekologis meliputi pemeriksaan abdomen, inspekulo dan vaginal toucher. Palpasi tinggi fundus uteri pada abortus inkomplit dapat sesuai dengan umur kehamilan atau lebih rendah. Pemeriksaan penunjang berupa USG akan menunjukkan adanya sisa jaringan.
Tidak ada nyeri tekan ataupun tandan cairan bebas seperti yang telihat pada kehamilan ektopik yang terganggu. Pemeriksaan dengan menggunakan spekulum akan memperlihatkan adanya dilatasi serviks, mungkin disertai dengan keluarnya jaringan konsepsi atau gumpalan – gumpalan darah. Bimanual palpasi untuk menentukan besar dan bentuk uterus perlu dilakukan sebelum memulai tindakan evakuasi sisa hasil konsepsi yang masih tertinggal. Menentukan ukuran sondase uterus juga penting dilakukan untuk menentukan jenis tindakan yang sesuai. 3,4,5

2.7 Diagnosis Banding 4,5
Abortus inkomplit dapat di diagnosis banding:
• Abortus iminens – Keguguran membakat dan akan terjadi. Dalam hal ini keluarnya fetus masih dapat dipertahankan dengan memberikan obat-obat hormonal dan antispasmodik serta istirahat. Kalau perdarahan setelah beberapa minggu masih ada, maka perlu ditentukan apakah kehamilan masih baik atau tidak. Kalau reaksi kehamilan 2 berturut-turut negatif, maka sebaiknya uterus dikosongkan (kuret).
• Kehamilan ektopik tuba – Kehamilan ektopik adalah kehamilan ovum yang dibuahi berimplantasi dan tumbuh di tempat yang tidak normal, termasuk kehamilan servikal dan kehamilan kornual.
• Abortus mola.- Adalah perdarahan pervaginam, yang muncul pada 20 minggu kehamilan biasanya berulang dari bentuk spotting sampai dengan perdarahan banyak. Pada kasus dengan perdarahan banyak sering disertai dengan pengeluaran gelembung dan jaringan mola.14 Dan pada pemeriksaan fisik dan USG tidak ditemukan ballotement dan detak jantung janin.
2.8 Penatalaksanaan
Terlebih dahulu dilakukan penilaian mengenai keadaan pasien dan diperiksa apakah ada tanda-tanda syok. Penatalaksanaan abortus spontan dapat dilakukan dengan menggunakan teknik pembedahan maupun medis. Teknik pembedahan dapat dilakukan dengan pengosongan isi uterus baik dengan cara kuretase maupun aspirasi vakum. Induksi abortus dengan tindakan medis menggunakan preparat antara lain : oksitosin intravenous, larutan hiperosmotik intraamnion seperti larutan salin 20% atau urea 30%, prostaglandin E2, F2a dan analog prostaglandin yang dapat berupa injeksi intraamnion, injeksi ekstraokuler, insersi vagina, injeksi parenteral maupun per oral, antiprogesteron - RU 486 (mefepriston), atau berbagai kombinasi tindakan tersebut diatas.
Pada kasus-kasus abortus inkomplit, dilatasi serviks sebelum tindakan kuretase sering tidak diperlukan. Pada banyak kasus, jaringan plasenta yang tertinggal terletak secara longgar dalam kanalis servikalis dan dapat diangkat dari ostium eksterna yang sudah terbuka dengan memakai forsep ovum atau forsep cincin. Bila plasenta seluruhnya atau sebagian tetap tertinggal di dalam uterus, induksi medis ataupun tindakan kuretase untuk mengevakuasi jaringan tersebut diperlukan untuk mencegah terjadinya perdarahan lanjut.
Perdarahan pada abortus inkomplit kadang-kadang cukup berat, tetapi jarang berakibat fatal5. Evakuasi jaringan sisa di dalam uterus untuk menghentikan perdarahan dilakukan dengan cara6,7:
1) Jika perdarahan tidak seberapa banyak dan kehamilan kurang dari 16 minggu, evakuasi dapat dilakukan secara digital atau cunam ovum untuk mengeluarkan hasil konsepsi yang keluar melalui serviks. Jika pendarahan berhenti, beri ergometrin 0,2 mg intramuskular atau misoprostol 400 mcg per oral.
2) Jika perdarahan banyak atau terus berlangsung dan usia kehamilan kurang dari 16 minggu, evakuasi hasil konsepsi dengan:
• Aspirasi Vakum merupakan metode evakuasi yang terpilih. Evakuasi dengan kuret tajam sebaiknya dilakukan jika aspirasi vakum manual tidak tersedia.
• Jika evakuasi belum dapat dilakukan segera, beri ergometrin 0,2 mg intramuskular (diulangi setelah 15 menit jika perlu) atau misoprostol 400 mcg per oral (dapat diulangi setelah 4 jam jika perlu).
3) Jika kehamilan lebih dari 16 minggu:
• Berikan infus oksitosin 20 unit dalam 500 ml cairan intravena (garam fisiologis atau Ringer Laktat) dengan kecepatan 40 tetes per menit sampai terjadi ekspulsi hasil konsepsi.
• Jika perlu berikan misoprostol 200 mcg pervaginam setiap 4 jam sampai terjadi ekspulsi hasil konsepsi (maksimal 800 mcg).
• Evakuasi sisa hasil konsepsi yang tertinggal dalam uterus.

Teknik kuretase dengan penyedotan (aspirasi vakum) sangat bermanfaat untuk mengosongkan uterus, dilakukan dengan menyedot isi uterus menggunakan kanula yang terbuat dari bahan plastik atau metal dengan tekanan negatif. Tekanan negatif dapat menggunakan pompa vakum listrik atau dengan syringe pump 60 ml. Aspirasi vakum merupakan prosedur pilihan yang lebih aman jika dibandingkan dengan teknik kuretase tajam, digunakan pada kehamilan kurang dari 12 minggu, dapat dilakukan hanya dengan atau tanpa analgesia lokal pada serviks maupun analgesia sistemik sedang. Aplikasi aspirasi vakum bahkan dapat dilakukan sampai pada umur kehamilan 15 minggu, tergantung pada ketrampilan dan pengalaman operator. Complete abortion rate aspirasi vakum berkisar antara 95 - 100%. Metode ini merupakan metode pilihan untuk mengatasi abortus inkomplit.
Evakuasi jaringan sisa dapat dilakukan secara lengkap dalam waktu 3-10 menit5'3. Sebelum melakukan tindakan kuretase, pasien, tempat dan alat kuretase disiapkan terlebih dahulu. Pada pasien yang mengalami syok, atasi syok terlebih dahulu. Kosongkan kandung kencing, selanjutnya dapat diberikan anestesi (jika diperlukan). Lakukan pemeriksaan ginekologik ulang untuk menentukan besar dan bentuk uterus, kemudian lakukan tindakan antisepsis pada ginitalia eksterna, vagina dan serviks. Spekulum vagina dipasang dan selanjutnya serviks dipresentasikan dengan tenakulum. Uterus disondase dengan hati-hati untuk menentukan besar dan arah uterus. Masukkan kanula yang sesuai dengan dalam kavum uteri melalui serviks yang telah berdilatasi (tersedia ukuran kanula dari 4 mm sampai 12 mm). Selanjutnya kanula dihubungkan dengan aspirator (60 Hg pada aspirator listrik atau 0,6 atm pada syringe). Kanula digerakkan perlahan-lahan dari atas kebawah dan sebaliknya, sambil diputar 360°. Bila kavum uteri sudah bersih dari jaringan konsepsi, akan terasa dan terdengar gesekan kanula dengan miometrium yang kasar, sedangkan dalam botol penampung jaringan akan timbul gelembung udara. Pasca tindakan tanda-tanda vital diawasi selama 15-30 menit tanpa anestesi dan selama 1 - 2 jam bila dengan anestesi umum. Pemeriksaan lanjut dapat dilakukan 1 - 2 minggu kemudian7.
Penatalaksanaaan abortus dengan teknik medis dibuktikan aman dan efektif. Efikasi terapi mifepriston dengan misoprostol dilaporkan sebesar 98% pada kehamilan trimester pertama awal. Namun demikian, pada abortus inkomplit, metode ini tidak memberikan keuntungan yang signifikan. Untuk mencapai ekspulsi spontan yang lengkap dengan terapi prostaglandin (misoprostol) diperlukan waktu rata-rata selama 9 hari. Regimen mefepriston, antiprogesteron digunakan secara luas, bekerja dengan cara mengikat reseptor progesteron, sehingga terjadi inhibisi efek progesteron untuk menjaga kehamilan. Dosis yang digunakan 200 mg. Kombinasi selanjutnya (36 - 48 jam) dengan pemberian prostaglandin 800 μg insersi vagina mengakibatkan kontraksi uterus lebih lanjut yang kemudian diikuti dengan ekspulsi jaringan konsepsi.
Efek yang terjadi pada terapi dengan obat-obatan ini berupa kram pada perut yang disertai dengan perdarahan yang menyerupai menstruasi namun dengan fase yang memanjang, selama 9 hari bahkan dapat terjadi selama 45 hari. Kontraindikasi penggunaan obat-obat tersebut adalah pada keadaan dengan gagal ginjal akut, kelainan fungsi hati, perdarahan abnormal, perokok berat dan alergi3.
2.9. Prognosis
Kecuali adanya inkompetensi serviks, angka kesembuhan yang terlihat sesudah mengalami tiga kali abortus spontan akan berkisar antara 70 dan 85% tanpa tergantung pada pengobatan yang dilakukan. Abortus inkomplit yang di evakuasi lebih dini tanpa disertai infeksi memberikan prognosis yang baik terhadap ibu5,8.


2.10. Komplikasi
Abortus inkomplit yang tidak ditangani dengan baik dapat mengakibatkan syok akibat perdarahan hebat dan terjadinya infeksi akibat retensi sisa hasil konsepsi yang lama didalam uterus5. Sinekia intrauterin dan infertilitas juga merupakan komplikasi dari abortus.
Berbagai kemungkinan komplikasi tindakan kuretase dapat terjadi, seperti perforasi uterus, laserasi serviks, perdarahan, evakuasi jaringan sisa yang tidak lengkap dan infeksi. Komplikasi ini meningkat pada umur kehamilan setelah trimester pertama. Panas bukan merupakan kontraindikasi untuk kuretase apabila pengobatan dengan antibiolik yang memadai segera dimulai5.
Komplikasi yang dapat terjadi akibat tindakan kuretase antara lain' :
• Dapat terjadi refleks vagal yang menimbulkan muntah-muntah, bradikardi dan cardiac arrest.
• Perforasi uterus yang dapat disebabkan oleh sonde atau dilatator. Bila perforasi oleh kanula, segera diputuskan hubungan kanula dengan aspirator. Selanjutnya kavum uteri dibersihkan sedapatnya. Pasien diberikan antibiotika dosis tinggi. Biasanya pendarahan akan berhenti segera. Bila ada keraguan, pasien dirawat.
• Serviks robek yang biasanya disebabkan oleh tenakulum. Bila pendarahan sedikit dan berhenti, tidak perlu dijahit.
• Perdarahan yang biasanya disebabkan sisa jaringan konsepsi. Pengobatannya adalah pembersihan sisa jaringan konsepsi.
• Infeksi dapat terjadi sebagai salah satu komplikasi. Pengobatannya berupa pemberian antibiotika yang sensitif terhadap kuman aerobik maupun anaerobik. Bila ditemukan sisa jaringan konsepsi, dilakukan pembersihan kavum uteri setelah pemberian antibiotika profilaksis minimal satu hari.



BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien
Nama : Ni Ketut Wartini
Umur : 23 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Imam bonjol II
Pekerjaan : Swasta
Agama : Hindu
Suku : Bali
Bangsa : Indonesia
MRS : 21 juli 2010 (pukul 16.30 Wita)
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Perdarahan pervaginam
Anamnesa Umum
Pasien datang mengeluh adanya perdarahan pervaginam sejak 4 hari SMRS (17/07/2010), awalnya dikatakan perdarahan berupa flek-flek yang warnanya merah kecoklatan, namun sejak 5 jam SMRS perdarahan semakin banyak disertai gumpalan-gumpalan darah berwarna merah tua, dan nyeri pada perut bagian bawah. Keluhan ini disertai lemas, pusing, panas badan dan muntah sejak 1 hari SMRS. Riwayat mengalami trauma disangkal oleh pasien, begitu juga riwayat minum jamu dan obat-obatan.
Riwayat menstruasi
Penderita menstruasi pertama kali saat usia 17 tahun. Menstruasinya teratur setiap bulan dan lamanya rata-rata 3-4 hari. Penderita juga mengatakan bahwa telat haid dan hari pertama haid terakhir adalah tanggal 3 juni 2010, pasien sebelumnya sempat berobat ke puskesmas (21 juli 2010) karena mengeluh lemas dan pusing. Saat itu pasien tidak dilakukan pemeriksaan dan disarankan langsung ke rumah sakit umum. Saat di RSUD wangaya, dilakukan PPT dan hasilnya positif.
Riwayat Pernikahan dan Persalinan
- Penderita belum menikah
- Riwayat obstetri: I. ini
Riwayat Ante Natal Care (ANC)
Tidak pernah dilakukan karena os tidak menyadari dirinya telah hamil.
Riwayat KB
Kondom
Riwayat Penyakit Terdahulu
Selama hamil ini penderita mengaku tidak pernah menderita penyakit yang berat, os hanya mengeluh demam 1 minggu sebelum mengalami perdarahan dan sering keputihan yang banyak dan berbau, namun hal tersebut tidak terlalu dihiraukan oleh os. Sedangkan penyakit lainnya seperti, tekanan darah tinggi (hipertensi), asma, penyakit jantung, maupun penyakit kencing manis disangkal os.
3.3 Pemeriksaan Fisik
Status present:
KU : tampak sakit sedang
TD : 90/70 mmHg
N : 88 x/menit
Tax : 36,5°C
R : 20x/menit
BB : 48 kg
TB : 160 cm



Status General:
Mata : Anemia -/-
Thoraks: : Simetris (+), pembengkakan mamae (-)
Jantung : S1S2 tgl reg m(-)
Paru : Ves +/+ Rh -/- Wh -/-
Abdomen : ~ status ginekologi
Extremitas : Hangat +/+, edema -/-
Abdomen : Inspeksi : Distensi (-)
Palpasi : FUT tidak teraba, massa (-), tanda cairan bebas
(-), nyeri tekan suprapubik (+)
Auskultasi : Bising Usus (+) normal
Inspekulo : flx (+), livide (+), p (+), tampak jaringan (+)
VT(22.20) :
flx (+), p (+) 1jr, teraba jaringan (+) nyeri goyang porsio (-)
CUAF b/c ~ 6-7 minggu
APCD ~ dalam batas normal
Pemeriksaan Penunjang
Hasil Darah Lengkap (21/07/2010)
WBC: 15,37 10-3 µL
RBC: 2,44 10-6 µL
HGB: 7,4 g/dl
HCT: 21,8 L%
PLT: 255 10-3 µL
Hasil urine lengkap (21/07/2010)
Makroskopis (kuning,keruh)
Parameter Hasil Nilai normal
Glukosa
Protein
Bilirubin
Urobilinogen
Ph
Bj
Eri
Keton
Nitrit
Leu -
+2
-
-
6.0
1.030
+3
+1
-
+1 -
-
-
-
4,6 – 8,5
1,003 – 1,030
-
-
-
-

Mikroskopis
Parameter Hasil Nilai normal
Eritrosit
Leukosit
Epitel
Kristal
Silinder
Bakteri
Sel ragi 5-7
4-7
2-4
-
-
(+)
(+) 0-2/lpb
0-5/lpb
0-5/lpk
-
0-1/lpk
-
-

3.4 Diagnosa Kerja
Abortus Inkomplit
3.5 Penatalaksanaan
Terapi:
a. Kuretase dengan aspirasi vakum manual (09.45 – 10.00 WITA)
b. Amoxcillin 3 x 500 mg
c. Metil ergometrin 2 x 0,125 mg
d. Asam mefenamat 3 x 500 mg
e. Observasi 2 jam pasca kuretase

Pukul (WITA) Tekanan darah (MmHg) Nadi (kali/menit) Respirasi (kali/menit)
10.15 100/70 86 20
10.30 100/70 86 20
10.45 100/70 86 20
11.00 100/70 84 20
11.15 110/70 84 20
11.30 110/70 82 20
12.00 110/70 82 20

3.6 Prognosis
Dubius ad bonam


BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Diagnosis
Pasien datang mengeluh adanya perdarahan pervaginam sejak 4 hari SMRS (17/07/10), awalnya dikatakan perdarahan berupa flek-flek yang warnanya merah kecoklatan, namun sejak 5 jam SMRS perdarahan semakin banyak disertai gumpalan-gumpalan darah berwarna merah tua, dan nyeri pada perut bagian bawah. Tes kehamilan pada urin positif. Riwayat trauma disangkal. Pada pemeriksaan fisik didapatkan status present dalam batas normal namun status general, pasien nampak pucat dan anemis, pemeriksaan abdomen fundus uteri tidak teraba, nyeri tekan ada, tanda cairan bebas tidak ada, massa tidak ada. Dari pemeriksaan dalam didapatkan, terdapat fluksus, pembukaan ostium uteri eksternum (OUE) dan tampak jaringan.
Pada pasien tersebut, pada anamnesis jelas didapatkan adanya keluhan telat haid yang mendukung bahwa pasien sedang hamil. Disamping itu telah dilakukan tes kencing dengan hasil positif. Selain adanya keluhan perdarahan pervaginam yang banyak, didapatkan juga keluhan nyeri perut bagian bawah dan tidak ada riwayat trauma fisik. Berdasarkan data anamnesis tersebut, maka dapat dipikirkan adanya kecurigaan terhadap gejala abortus, terlebih lagi pasien sedang dalam masa reproduksi. Pada kasus ini, setelah dilakukan pemeriksaan dalam ternyata didapatkan adanya pembukaan ostium uteri eksternum (OUE) dan teraba massa/jaringan. Berdasarkan gambaran klinis yang jelas inilah kemudian dapat ditegakkan diagnosanya menjadi abortus inkomplit.
Kendati demikian jika hanya dari anamnesa saja mungkin cukup sulit untuk dapat yakin bahwa itu merupakan suatu abortus inkomplit oleh karena adanya keluhan perdarahan pervaginam pada kehamilan muda, selain abortus inkomplit perlu juga dipikirkan kemungkinan lain seperti: kehamilan ektopik, mola hidatidosa, dan kehamilan dengan kelainan pada pelvis. Untuk abortus itu sendiri, masih harus dipikirkan berdasarkan mekanismenya apakah abortus spontan atau abortus provokatus oleh karena penatalaksanaannya yang berbeda.
Kemungkinan lainnya yang harus disingkirkan adalah kehamilan ektopik, namun pada kehamilan ektopik, nyeri merupakan keluhan utamanya. Apalagi jika sudah terjadi kehamilan ektopik terganggu. Perdarahan pervaginam merupakan tanda penting kedua yang dapat menandakan kematian janin, dimana perdarahan tidak banyak dan berwarna coklat tua. Meskipun gejala klinisnya dapat bervariasi dari perdarahan yang banyak dan tiba-tiba dalam rongga perut sampai gejala yang tidak jelas, ada trias klasik yang sering didapatkan yaitu, amenore, perdarahan dan nyeri akut abdomen.
Sedangkan kemungkinan yang paling jauh yang dapat dipikirkan adalah adanya suatu mola hidatidosa. Yang dimaksud dengan mola hidatidosa adalah kehamilan yang berkembang tidak wajar, dimana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh vili korealis mengalami perubahan hidrotik. Pada mola perdarahan merupakan gejala utama, dimana sifat perdarahannya bisa intermitten, sedikit-sedikit atau sekaligus banyak yang dapat menyebabkan syok. Pada kasus dengan perdarahan yang banyak sering disertai dengan pengeluaran gelembung dari jaringan mola. Pada pemeriksaan fisik, besar uterus tidak sesuai dengan usia kehamilan (50% kasus menunjukkan besar uterus lebih dari usia kehamilan sesungguhnya), tidak ditemukan ballotement dan denyut jantung janin. Selain itu pada permulaan kehamilan biasanya pasien mengalami hiperemesis gravidarum, mual, muntah pusing dengan derajat keluhan yang lebih berat. Perkembangan kehamilan adalah lebih pesat sehingga pada umumnya didapatkan uterus lebih besar dari umur kehamilan.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain adalah pemeriksaan laboratorium berupa darah lengkap dan tes kehamilan, dan ultrasonografi (USG). Pada pemeriksaan darah lengkap, tidak ditemukan Hb yang rendah kemungkinan perdarahan yang bermakna. Hitung sel darah putih dan laju endap darah meningkat bahkan tanpa adanya infeksi. Menurunnya atau kadar plasma yang rendah dari β-hCG adalah penanda kehamilan abnormal, baik blighted ovum, abotus spontan, ataupun kehamilan ektopik. Pemeriksaan USG transvaginal berguna untuk mendokumentasikan kehamilan intrauterin. Pada abortus inkomplit, sakus gestasional biasanya terlihat gepeng dan ireguler, material ekogenik yang mewakili jaringan plasenta terlihat dalam kavum uteri.
Berdasarkan uraian diatas maka diagnosis mengarah ke abortus inkomplit, karena dari anamnese dan pemeriksaan fisik ginekologi jelas didapatkan gejala klinis yang sesuai dengan abortus inkomplit. Adanya diagnose banding yaitu abortus iminens, kehamilan ektopik dan mola dapat disingkirkan. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan hematologi rutin yaitu untuk mencari terutama kadar hemoglobin yang bertujuan dengan mengetahui adanya kadar hemoglobin dibawah normal berarti pasien dalam keadaan anemi yang salah satunya dapat disebabkan oleh adanya perdarahan banyak. Pada kasus ini os Nampak anemi dan hasil pemeriksaan lab menunjukkan nilai Hb 7.4 gr %. Pemeriksaan penunjang lainnya, USG dapat pula menyingkirkan adanya kehamilan ektopik atau suatu mola hidatidosa. Dengan pemeriksaan USG pada trimester awal kehamilan, dapat diketahui kehamilan tersebut intra atau ekstra uteri. Sedangkan pada kasus mola, dengan pemeriksaan USG, menunjukkan gambaran yang khas yaitu berupa badai salju (snow flake pattern). Pada kasus ini pemeriksaan USG tidak dikerjakan, karena secara klinis diagnosa abortus inkomplit dapat ditegakkan.
4.2 Faktor predisposisi atau etiologi
Mekanisme pasti yang bertanggungjawab atas peristiwa abortus tidak selalu tampak jelas. Kematian janin sering disebabkan oleh abnormalitas pada ovum atau zigot atau oleh penyakit sistemik pada ibu, dan kadang-kadang mungkin juga disebabkan oleh faktor paternal seperti translokasi kromosom.
Berdasarkan anamnesis kejadian abortus ini adalah kejadian yang pertama kalinya. Penyebab terjadinya abortus inkomplit pada pasien ini kemungkinan disebabkan karena adanya infeksi, hal ini didapatkan dari anamnesis bahwa os sebelum mengalami pedarahan sempat demam dan mengeluh keputihan yang banyak dan berbau, namun hal tersebut tidak terlalu dihiraukan dan saat itu os hanya istirahat di rumah saja. Selain itu, dari pemeriksaan penunjang laboratorium darah lengkap ditemukan daanya peningkatan nilai sel darah putih dan pemeriksaan urin juga ditemukan adanya bakteri dan jamur. Namun hal tersebut mungkin masih merupakan factor predisposisi yang paling mendekati, karena perlu dipertimbangkan juga penyebab lainnya yang juga dapat berperanan seperti faktor nutrisi, faktor paternal, serta paparan obat-obatan dan toksin lingkungan.
Pada kasus abortus inkomplit ini mungkin dapat lebih diperdalam lagi sehingga dapat diketahui etiologinya (eksplorasi kausa). Disamping itu, faktor-faktor lainnya juga harus ditelusuri seperti ada tidaknya kelainan pada plasenta (end arteritis vili korealis yang dapat dipicu oleh karena hipertensi menahun) serta adanya penyakit pada ibu antara lain pneumoni, tifus abdominalis, malaria dan anemia berat, yang juga dapat menyebabkan abortus. Ini sangatlah perlu untuk memahami faktor-faktor resiko tersebut sehingga dapat membantu memberikan konseling kepada pasien. Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) kepada pasien merupakan komponen penting untuk memberikan penjelasan yang benar dan dapat dipahami oleh pasien tentang apa yang ia alami. Oleh karena itu dapat dianjurkan kepada pasien untuk dilakukannya eksplorasi kausa. Secara garis besar, terjadinya suatu abortus dapat disebabkan oleh keadaan dari hasil konsepsi itu sendiri (zygote), adanya penyakit kronis dan infeksi yang diderita oleh ibu, pengaruh lingkungan misalnya lingkungan fisik (paparan radiasi tertentu, infeksi oleh TORCH) atau adanya riwayat penggunaan obat-obat tertentu yang bersifat teratogenik dan adanya trauma fisik. Selain itu adanya gangguan hormonal/endokrin juga dikatakan sebagai salah satu faktor yang berpengaruh.
Disamping itu juga perlu dipikirkan kemungkinan adanya gangguan pada uterus berupa kelainan hormonal yang mempengaruhi endometrium, kelainan oleh karena factor mekanik (adanya mioma submukus) serta kelainan anatomis (serviks inkompeten, uterus bikornu, uterus arkuatus, dan lain-lain). Jika ada kecurigaan bahwa kausanya adalah kelainan pada zigot dimana defeknya bersifat genetikal maka usaha eksplorasinya bisa berupa pemeriksaan kromosom (kariotype) karena mungkin saja kelainan genetik pada zigot ternyata berasal dari gen-gen mutasi baik dari ibu ataupun ayah. Tetapi tentunya pemeriksaan ini belum berkembang di Indonesia dan biayanya cukup tinggi. Selain itu pemeriksaan patologi anatomi jaringan yang diklaim akan mengetahui apakah ada tidaknya suatu keganasan. Namun pada kasus abortus inkomplit ini tidak dilakukan pemeriksaan PA.
Adanya penyakit infeksi akut (pneumonia, malaria) atau penyakit kronis (diabetes mellitus, Hipertensi kronis, penyakit liver/ginjal kronis) dapat diketahui lebih mendalam melalui anamnesa yang baik dan terperinci. Penting juga diketahui bagaimana perjalanan penyakitnya jika memang pernah menderita infeksi berat, seperti apakah telah diterapi dengan tepat dan adekuat. Hal ini penting sebagai data dasar untuk nantinya dapat membantu dalam menghubungkan dengan kejadian ROB. Ketidakjelasan secara klinis adanya diabetes melitus atau gangguan kronis pada hepar atau ginjal dapat dibantu dengan pemeriksaan gula darah acak/ 2 jam pp, tes fungsi hati/ LFT (AST/ALT) maupun tes fungsi ginjal/ RFT (BUN/SC). Untuk eksplorasi kausa, pemeriksaan-pemeriksaan diatas dapat dikerjakan.
Jika ingin mengetahui pengaruh faktor lingkungan, maka perlu ditanyakan tentang lingkungan tempat tinggal ibu, mungkin ada tidaknya riwayat menjalankan radioterapi, maupun lingkungan kerjanya. Ada tidaknya binatang seperti kucing yang dianggap sebagai vektor penularan TORCH, penting juga diketahui. Oleh karena itu boleh disarankan pemeriksaan serologis TORCH untuk mengetahui titer antibodi terhadap virus ini. Demikian juga penggunaan obat–obatan tertentu yang dianggap teratogenik harus dicari dari anamnesa karena jika ada mungkin hal ini merupakan salah satu faktor yang berperan.
4.3 Penatalaksanaan
Pada kasus ini pada saat pasien MRS keadaan umumnya stabil, dan tidak didapatkan tanda-tanda syok. Oleh karena pada pemeriksaan fisik teraba massa jaringan maka harus dilakukan evakuasi isi uterus dengan kuretase dan selanjutnya diberikan medikamentosa berupa antibiotika, analgetika dan uterotonika. Yang penting setelah tindakan adalah observasi dua jam setelah kuretase untuk monitoring vital sign dan adanya keluhan. Maka dari itu adanya komplikasi seperti perdarahan ringan sampai berat, infeksi, dan kelainan fungsi pembekuan darah dapat dihindari.
Mengingat komplikasi tindakan ini cukup banyak, maka perlu dilakukan dengan prosedur yang benar dan hati-hati untuk mengurangi resiko tersebut seminimal mungkin. Adapun penanganan kasus ini adalah dengan:
- Kuretase dengan aspirasi vakum manual (09.45 – 10.00 WITA)
- Medikamentosa :
Amoxcillin 3 x 500 mg
Metil ergometrin 2 x 0,125 mg
Asam mefenamat 3 x 500 mg
Observasi 2 jam pasca kuretase
Pemberian antibiotik dipertimbangkan untuk mencegah infeksi dan analgetik untuk mengurangi nyeri serta uterotonika untuk mempertahankan kontraksi uterus yang mana berperan dalam mengurangi perdarahan. Setelah dilakukan kuretase dan post kuretase keadaan penderita baik, follow up dilakukan selama 2 jam dan jika keadaan stabil serta keluhan tidak ada maka pasien dapat dipulangkan Penderita disarankan untuk kontrol ke poliklinik satu minggu setelah obat habis.

4.4 Prognosis
Prognosis pada kasus ini adalah mengarah ke baik, dubius ad bonam karena dengan kuretase berhasil mengeluarkan semua sisa jaringan sehingga resiko perdarahan menjadi sangat minimal, setelah observasi dua jam pasca kuretase tidak didapatkan keluhan dan keadaan umum pasien stabil. Selain itu pada pasien ini tidak didapatkan adanya penyulit atau komplikasi yang berbahaya misalnya perdarahan, perforasi, infeksi dan syok.




















BAB V
RINGKASAN

Telah diuraikan kasus wanita 23 tahun, hamil muda 6-7 minggu yang mengalami perdarahan pervaginam. Penatalaksanaan awal pada kasus abortus adalah melakukan penilaian secara cepat mengenai keadaan umum pasien dan selanjutnya diperiksa apakah ada tanda-tanda syok. Untuk mengurangi resiko perdarahan dan komplikasi lain yang mungkin timbul, maka pada kasus abortus inkomplit ini dilakukan pengeluaran sisa jaringan dengan kuretase, kemudian diberikan medikamentosa seperti golongan uterotonika, antibiotika dan analgetik.
Dari hasil pemeriksaan klinis dan anamneis di tegakkan diagnosa dengan abortus inkomplit. Setelah dilakukan kuretase dan post kuretase keadaan penderita baik, follow up diruangan selama satu hari didapatkan keadaan stabil dan keluhan tidak ada maka keesokan harinya pasien dipulangkan. Penderita diberikan obat per oral yaitu amoxsan 3x500 mg, mefinal 3x500 mg, metilat 2 x 0,125 mg.
Penderita disarankan untuk kontrol ke poliklinik satu minggu kemudian untuk mengetahui perkembangan penderita.
Abortus inkomplit yang di evakuasi lebih dini tanpa disertai infeksimemberikan prognosis yang baik.











DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham GE, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom KD. Abortus. In: Cunningham GE, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom KD, editors. Williams Obstetrics 21st ed. New York, NY: McGraw Hill; 2001.
2. Wibowo B, Wiknjosastro GH. Kelainan dalam Lamanya Kehamilan. Dalam: Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadi T, editor. Ilmu Kebidanan ed 3. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2002.
3. Valley VT. Abortion, Incomplete. In: Emedicine. 30 Mei 2006. http://www.emedicine.com/emerg/OBSTETRICS_AND_GYNECOLOGY.htm (04 Oktober 2008)
4. Garmel SH. Early Pregnancy Risk. In: DeCherney AH, Nathan L, editors. Current Obstetric & Gynecologic Diagnosis & Treatment 9th ed. New York, NY: McGraw Hill; 2003.
5. Branch DW, Scott JR. Early Pregnancy Loss. In: Scott JR, Gibbs RS, Karlan BY, Haney AF, editors. Danforth’s Obstetrics and Gynecology 9th ed. Philadelphia, PA: Lippincott Williams & Wilkins, 2003.
6. Mochtar R. Abortus dan Kelainan dalam Kehamilan Tua. Dalam: Lutan D, editor. Sinopsis Obstetri ed 2. Jakarta: EGC, 1998.
7. Spontaneous and Recurrent Abortion: Etiology, Diagnosis, Treatment. In: Stenchever MA, Droegemuller W, Herbst AL, Mishell DR, editors. Comperhensive Gynecology. St Louis: Mosby, 2002.

SISTEMIK LUPUS ERITOMATOSUS PADA KEHAMILAN

LAPORAN KASUS

KEHAMILAN DENGAN SISTEMIK LUPUS ERITOMATOSUS

Oleh:

Ni Putu Devi Prabhaswari (0602005052)

I Putu Wirama (0602005068)

Pembimbing:

dr. A A Gde Martha, SpOG

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

LAB/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

RSUD KLUNGKUNG

AGUSTUS 2010


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas berkatNya, tinjauan kasus ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Tinjauan kasus dengan judul “Abortus Inkomplit” ini ditulis dalam rangka menjalani Kepaniteraan Klinik Madya di Lab/SMF Obstetri dan Ginekologi, RSUD Klungkung. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. A A gde Martha, Sp.OG selaku Kepala Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi RSUD Klungkung dan pmbimbing laporan kasus ini.

2. Semua staf Bagian/SMF Obsteti dan Ginekologi FK Unud/RSUD Klungkung.

3. Semua pihak yang telah membantu penyelesaian karya ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya ini masih jauh dari sempurna, karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis. Untuk ini penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak.

Denpasar, Agustus 2010

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................................. iii

BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................................. 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 2

BAB III. LAPORAN KASUS ............................................................................................. 17

BAB IV. PEMBAHASAN ................................................................................................. 21

BAB V. KESIMPULAN ................................................................................................... 25

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 26

BAB I

PENDAHULUAN

Salah satu kejadian yang terjadi dalam bidang kebidanan dan kandungan adalah Lupus eritematosus sistemik (Systemic Lupus Erythematosus, SLE), merupakan penyakit autoimun yang ditandai oleh produksi antibodi terhadap komponen-komponen inti sel yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang luas. Sembilan puluh persen kasus lupus eritematosus sistemik menyerang wanita muda dengan insiden puncak pada usia 15-40 tahun selama masa reproduktif dengan rasio wanita dan laki-laki 5:1. Etiologinya tidak jelas, diduga berhubungan dengan gen respon imun spesifik pada kompleks histokompatibilitas mayor klas II, yaitu HLA-DR2 dan HLA DR3. Terdapat banyak bukti bahwa patogenesis LES bersifat multifaktor, dan ini mencakup pengaruh faktor genetik, lingkungan (sinar ultraviolet, infeksi) dan hormonal (estrogen) terhadap respons imun.1,2,3

Manifestasi klinis yang muncul heterogen dan hampir melibatkan semua sistim organ dari kondisi sendi dan kulit yang ringan sampai pasien dengan penyakit berat yang menyerang sistim saraf pusat, paru, saluran pencernaan, dan ginjal. Pertanda utama lupus adalah adanya antibodi terhadap antigen nuklear (ANA).3

Prevalensi SLE diperkirakan 4-250 kasus untuk setiap 100.000 penduduk, yang menunjukkan adanya perbedaan besar pada berbagai populasi (Lawrence dkk, 1989). Di Amerika Serikat prevalensinya lebih sering pada orang-orang asia ( 18-24 tiap 100.000) daripada orang kulit hitam (4 tiap 100.000) atau Puerto Rico ( 1 diantara 100.000 ) lebih lanjut dilaporkan bahwa prevalensi LES lebih sering pada orang-orang cina dan Asia Tenggara (Feng dkk,1982). Sedangkan dalam kurun waktu 1971 sampai dengan1975 adalah 15,02 per 10.000 perawatan .4 Sedangkan dalam kurun 1985-1994 dibagian penyakit dalam RSUD. Dr. Saiful Anwar, Malang, telah dirawat kasus LES sebanyak 79 kasus, dimana sebagian besar penderita (97,1 %) adalah wanita dengan umur dibawah 30 tahun.4 Dalam bidang obstetri penyakit ini dianggap penting karena LES dapat merupakan satu penyulit kehamilan, dimana mempunyai potensi untuk mengakibatkan kematian janin, kelahiran preterm maupun kelainan pertumbuhan janin. Bayi yang lahir dari ibu yang mengindap LES dapat menyebabkan lupus eritematosus neonatal, walaupun kejadiannya jarang (1:20.000 kelahiran hidup).5

Lupus eritematosus sistemik yang terjadi pada wanita hamil apabila dilakukan pengawasan yang tepat ANC yang teratur dapat mengetahui komplikasi yang akan terjadi pada ibu hamil sehingga dapat mengurangi morbilitas dan moratlitas baik pada ibu hamil ataupun bayi.. Oleh karena itu, Lupus eritematosus sistemik adalah topik yang penting dan menarik yang harus dikuasai oleh dokter ataupun pekerja medis yang lain.

Dalam tinjauan kasus ini akan dibahas bagaimana teori tentang Lupus eritematosus sistemik, laporan kasus, dan pembahasan kasus, apakah sudah sesuai dengan teori, atau belum. Diharapkan dengan tinjauan kasus ini dapat dimengerti lebih baik tentang Lupus eritematosus sistemik sehingga apabila kita menjumpai kasus ini, kita dapat melakukan tindakan penanganan yang cepat dan tepat.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Lupus eritematosus merupakan suatu penyakit dengan dasar reaksi auto imun. Etiologi sebenarnya belum diketahui. Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit radang multi sistem akibat pengendapan kompleks imun yang tidak spesifik pada berbagai organ yang penyebabnya belum diketahui secara jelas. Lupus eritematosus sistemik (Systemic Lupus Erythematosus, SLE), merupakan penyakit autoimun yang ditandai oleh produksi antibodi terhadap komponen-komponen inti sel yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang luas Secara klinis ditemukan 2 bentuk lupus eritematosus, yaitu bentuk discoid dan bentuk tersebar luas (sistemik).1,2,3 Bentuk discoid merupakan salah satu bentuk lupus eritematosus yang tidak berbahaya dan terbatas pada kulit, jarang mengenai organ lain, tidak mempunyai pengaruh timbal balik dengan kehamilan. Bentuk tersebar luas (sistemik) adalah salah satu bentuk lupus eritematosus yang selain mengenai kulit juga mengenai organ lain dalam tubuh, berbahaya dan mempunyai pengaruh timbal balik (pengaruh buruk) terhadap kehamilan.1,4

2.2 Epidemilogi

Prevalensi SLE di berbagai negara sangat bervariasi. Prevalensi pada berbagai populasi yang berbeda-beda. Dari berbagai sumber diadapatkan data antara lain : Prevalensi penyakit SLE adalah 0,06% dari populasi umum. Di Amerika Serikat, insiden penyakit SLE adalah 14.6 – 50.8 kasus/100.000 orang sedangkan prevalensinya 24- 100/100.000 orang. The Lupus Foundation of America ( LFA ) memperkirakan sekitar 1,5 juta penduduk Amerika Serikat menderita penyakit SLE dengan berbagai tipe terutama wanita. Orang Amerika keturunan Afrika, Hispanik, orang Amerika asli dan orang Asia memiliki resiko besar untuk menderita penyakit SLE. c. Prevalensi penyakit SLE di Swedia adalah 36/100.000 orang. . Di Inggris prevalensinya hampir sama dengan orang Asia 40/100.000 . Di negara Eropa prevalensi SLE 20/100.000 orang. Penyakit SLE lebih sering menyerang pada usia 15 – 40 tahun tetapi semua umur bisa saja terkena, penyakit SLE lebih sering menyerang pada wanita daripada pria ( 9 : 1 ) sedangkan pada anak-anak meningkat 10 : 1. Pada wanita Eropa umur 15 -24 tahun prevalensinya 1/700 orang wanita. Pada wanita Amerika-Afrika umur 15 – 24 tahun prevalensinya 1/245 orang wanita Yang menarik perhatian adalah penyakit SLE jarang ditemukan di Afrika.6,7

Sedangkan dalam kurun 1985-1994 dibagian penyakit dalam RSUD. Dr. Saiful Anwar, Malang, telah dirawat kasus LES sebanyak 79 kasus, dimana sebagian besar penderita (97,1 %) adalah wanita dengan umur dibawah 30 tahun. Dalam bidang obstetri penyakit ini dianggap penting karena LES dapat merupakan satu penyulit kehamilan, dimana mempunyai potensi untuk mengakibatkan kematian janin, kelahiran preterm maupun kelainan pertumbuhan janin. Bayi yang lahir dari ibu yang mengindap LES dapat menyebabkan lupus eritematosus neonatal, walaupun kejadiannya jarang (1:20.000 kelahiran hidup).4,5

2.3 Etiologi

Etiologi dan patogenesis LES masih belum diketahui dengan jelas meskipun demikian terdapat banyak bukti, ini mencakup pengaruh faktor genetik, lingkungan dan hormonal terhadap respon imun. Kerusakan jaringan disebabkan oleh autoantibodi, kompleks imun dan limfosit T. Seperti halnya penyakit autoimun yang lain, suseptibiltas LES tergantung oleh gen yang multipel.

Faktor lingkungan memegang peranan penting, melakukan interaksi dengan sel yang suseptibel sehingga akan menghasilkan respon imun yang abnormal dengan segala akibatnya. Faktor genetik mempunyai peran penting, 10-20% pasien penderita LES mempunyai kerabat penderita LES. Adapun gen yang berperan terutama gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Kaitan dengan haplotip MHC tertentu terutama HLA- DR2 dan HLA-DR3 serta dengan komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi ikat komplemen 3.8

2.4 Patogenesis

Sampai saat ini belum jelas mekanisme terjadinya LES ini, interaksi antara faktor lingkungan, genetik dan hormonal yang saling terkait akanmenimbulkan abnormalitas respon imun pada tubuh penderita LES. Beberapa faktor pencetus yang dilaporkan menyebabkan kambuhnya LES adalah, stress fisik maupun mental, infeksi, paparan ultraviolet dan obat-obatan. Obat-obatan yang diduga mencetuskan LES adalah, procainamine, hidralasin, quidine dan sulfazalasine. Pada LES ini sel tubuh sendiri dikenali sebagai antigen. Target antibodi pada LES ini adalah sel beserta komponennya yaitu inti sel, dinding sel, sitoplasma dan partikel nukleoprotein. 1,3,4

Karena didalam tubuh terdapat berbagai macam sel yang dikenali sebagai antigen maka akan muncul berbagai macam outoantibodi pada penderita LES. Peran antibodi antibodi ini dalam menimbulkan gejala klinis belum jelas diketahui, beberapa ahli melaporkan kerusakan organ/sistem bias disebabkan oleh efek langsung antibodi atau melalui pembentukan komplek imun. Kompleks imun akan mengaktifasi sistem komplemen untuk melepaskan C3a dan C5a yang merangsang sel basofil untuk membebaskan vasoaktif amin seperti histamin yang menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler yang akan memudahkan mengendapnya kompleks imun. Pembentukan kompleks imun ini akan terdeposit pada organ/sistem sehingga menimbulkan reaksi peradangan pada organ/sistem tersebut Sistem komplemen juga akan menyebabkan lisis selaput sel sehingga akan memperberat kerusakan jaringan yang terjadi. Kondisi inilah yang menimbulkan manifestasi klinis LES tergantung dari organ/sistem mana yang terkena. Pada plasenta proses tersebut akan menyebabkan terjadinya vaskulitis desidua.1,3,4.

2.5 Gejala Klinis

Penderita LES umumnya mengeluh lemah, demam, malaise, anoreksia dan berat badan menurun. Pada penyakit yang sudah lanjut dan berbulan bulan sampai tahunan barulah menunjukkan manifestasi klinis yang lebih spesifik dan lengkapserta cenderung melibatkan multiorgan. Manifestasinya bisa ringan sampai berat yang dapat mengancam jiwa.

Table 1. Prosentase spektrum klinis LES tampak padatabel dibawah ini.9

Manifestasi klinis yang ditimbulkan oleh SLE pada kehamilan dapat berupa

a. Kematian janin

Mekanisme dari kematian janin ini belum jelas, namun diduga berhubungan dengan disfungsi plasenta dan peningkatan yang tidak dapat dijelaskan dari alfa fetoprotein serum pada wanita hamil. Pada tiga penelitian retrospektif, kematian janin dikatakan berkisar 22,31 dan 10,5%. Petri dan Allbritton melakukan suatu penelitian retrospektif berskala besar yang melibatkan wanita dengan kehamilan normal dan LES. Didapatkan bahwa angka kematian janin pada wanita hamil dengan LES lebih tinggi secara bermakna (21%) dibandingkan dengan wanita hamil tanpa LES (14%). Pada penderita LES, kematian janin dihubungkan dengan adanya antibodi antifosfolipid. Pada sebuah penelitian yang melibatkan 21 orang wanita dengan LES, didapatkan bahwa antibodi antifosfolipid merupakan indicator yang paling sensitiv untuk kematian janin. Pada penelitian kedua yang dilakukan oleh peneliti yang sama dijumpai bahwa antifosfolipid ada pada 10 atau 11 wanita dengan kematian janin, dan nilai prediksi positif antibodi antifosfolipid adalah diatas 50%. Penelitian lain menyebutkan bahwa adanya antibodi antifosfolipid dan riwayat kematian janin memberikan angka prediksi kematian janin diatas 85% pada wanita LES 10 Beberapa penulis percaya bahwa suatu penyakit ginjal yang menyertai LES mempunyai efek terhadap kelangsungan kehidupan janin. Derajat kerusakan ginjal juga merupakan suatu aspek yang penting. Hayslett dan Lynn menemukan bahwa kreatinin serum > 1,5mg/dl, digolongkan pada insufisiensi ginjal sedang-berat, dihubungkan dengan kematian janin 50% pada 10 kasus.1,3,4

b. Persalinan preterm

Persalinan preterm nampaknya terjadi lebih sering pada penderita LES dibandingkan wanita dengan kehamilan normal. Pada suatu penelitian yang mencatat usia kehamilan pada saat kelahiran, didapatkan nilai median dari 30% kelahiran adalah sebelum 37 minggu (kisaran 3-73%). Sebenarnya ada banyak factor perancu lain seperti adanya tendensi ahli kebidanan untuk melahirkan janin yang telah dianggap matur secepatnya. Persalinan preterm pada LES nampaknya dikaitkan dengan kejadian SLE flare . Pada suatu penelitian kasus kontrol berskala besar, didapatkan hasil bahwa persalinan preterm lebih sering pada kelompok LES dibandingkan dengan kontrol (12% vs 4%) . Sebagai tambahan, pecah ketuban sebelum waktunya lebih sering dijumpai pada kehamilan dengan penyulit LES.1

c. Kelainan Pertumbuhan Janin

Berdasarkan kenyataan bahwa wanita hamil penderita LES dapat mengidap preeklampsi, sindroma antifosfolipid atau keduanya, tidaklah mengejutkan bila terjadi kejadian kelainan pertumbuhan janin. Pada suatu penelitian yang dilakukan oleh Mintz dkk., menemukan bahwa 20 dari 86 (23%) kehamilan diatas 20 minggu menghasilkan janin dengan kelainan pertumbuhan, termasuk 4 kasus kematian janin. Hanya 4% dari kelompok kontrol yang melahirkan janin dengan gangguan pertumbuhantelah terbukti. Gen-gen lain yang berperan ialah gen yang mengkode reseptor sel T, immunoglobulin dan sitokin. Sistem neuroendokrin dalam beberapa penelitian berhasil ditemukan bahwa hormon prolaktin dapat merangsang respon imun.1

2.6 Diagnosis

Pada tahun 1971, American rheumatism association (ARA) mengumumkan kriteria untuk klasifikasi LES yang mengandung 14 item. Namum karena sensivitasnya sangat bervariasi (57,2%-98%), maka dilakukan revisi ulang pada tahun 1982 dengan kriteria revisi ini didapatkan sentivitas sebesar 96% dan spesifisitasnya antara 78-87% . Sedangkan dalam kepustakaan lain dikatakan sensitivisitas dan spesifitasnya mencapai 96% jika menggunakan criteria ini. Dengan menggunakan kriteria ini diagnosis LES dapat ditegakan jika ditemukan 4 atau lebih criteria.10

Tabel 2. Kriteria revisi untuk klasifikasi LES (1982) dikutiplah Lahita 10

2.7 Pengaruh Kehamilan terhadap LES

Masih belum dapat dipastikan apakah kehamilan dapat mencetuskan LES, eksaserbasi LES pada kehamilan tergantung dari lamanya masa remisi LES eterlibatan organ organ vital seperti ginjal. Penderita LES yangt telah mengalami remisi lebih dari 6 bulan sebelum hamil mempunyai risiko 25% eksaserbasi pada saat hamil dan 90% luaran kehamilannya baik. Tetapi sebaliknya bila masa remisi LES sebelum hamil kurang dari 6 bulan maka risiko eksaserbasi LES pada saat hamil menjadi 50% dengan luaran kehamilan yang buruk. Apabila kehamilan terjadi pada saat LES sedang aktif maka risiko kematian janin 50-75% dengan angka kematian ibu menjadi 10%. Dengan meningkatnya umur kehamilan maka risiko eksaserbasi juga meningkat, yaitu 13% pada trimeseter I, 14% pada trimester II, 53% pada trimester III serta 23% pada masa nifas.9,11

2.8 Pengaruh LES terhadap Kehamilan

Nasib kehamilan penderita LES sangat ditentukan dari aktifitas penyakitnya, konsepsi yang terjadi pada saat remisi mempunyai luaran kehamilan yang baik. Beberapa komplikasi kehamilan yang bias terjadi pada kehamilan yaitu, kematian janin meningkat 2-3 kali dibandingkan wanita hamil normal, bila didapatkan hipertensi dan kelainan ginjal maka mortalitas janin menjadi 50%. Kelahiran prematur juga bisa terjadi sekitar 30-50% kehamilan dengan LES yang sebagian besar akibat preeklamsia atau gawat janin. Infark plasenta yang terjadi pada penderita LES dapat menigkatkan risiko terjadinya Pertumbuhan janin Terhambat sekitar 25% demikian juga risiko terjkadinya preeklamsia . eklamsia meningkat sekitar 25-30% pada penderita LES yang disertai lupus nepritis kejadian preeklamsia menjadi 2 kali lipat. Membedakan preeklamsia dengan lupus nepritis sulit karena keduanya mengalami hipertensi, protenuria, edema dan perburukan fungsi ginjal. Kriteria dibawah ini dapat dipakai untuk membedakan kedua keadaan diatas :12

Tabel 3. Perbedaan preeklamsia dengan eksaserbasi lupus renal 11

LEN, merupakan komplikasi kehamilan dengan LES yang mengenai janin dimana sindroma tersebut terdiri dari, blok jantung kongenital, lesi kutaneus sesaat, sitopenia, kelainan hepar dan berbagai manifestasi sistemik lainnya pada neonatus yang lahir dari seorang ibu yang menderita LES pada saat hamil. Untuk menegakkan diagnosa LEN, The Research Registry for Neonatal Lupus memberikan dua kriteria sebagai berikut : Adanya antibodi 52 kD SSA/Ro, 60 kD SSA/Ro atau 48 kD SSB/La pada serum ibu. dan. Adanya blok jantung atau ras pada kulit neonatus.11

Kelainan konduksi jantung/blok jantung congenital ditemukan 1 diantara 20 000 kelahiran hidup (0,005%), tergantung dari adanya anti SSA/Ro atau anti SSB/La. Apabila antibodi tersebut ditemukan pada penderita LES maka risiko bayi mengalami blok jantung kongenital berkisar antara 1,5% sampai 20% dibandingkan bila antibodi tersebut tidak ada yaitu sekitar 0,6% dengan distribusi yang sama antara bayi laki dan wanita. Patogenesis blok jantung congenital neonatus pada penderita LES dengan anti SSA/Ro dan Anti SSB/La positip belum jelas diketahui. Mekanisme yang dipercaya saat ini adalah adanya transfer antibody melalui plasenta yang terjadi pada trimester ke dua yang menyebabkan trauma imunologik pada jantung dan sistem konduksi jantung janin. Sekali terjadi transfer antibodi ini maka kelainan yang terjadi bersifat menetap dan akan manifes pada saat bayi lahir. Usaha untuk menghentikan transfer antibodi ini ke janin seperti pemberian kortiokosteroid, gammaglobulin intravenous atau plasmaparesis telah gagal mencegah kejadian blok jantung kongenital neonatal. Oleh karena itu pemeriksaan antibodi ini sangat penting untuk seorang ibu yang menderita LES dan ingin hamil.11

2.8 Penatalaksanaan

Ada dua hal yang perlu diperhatikan pada penatalaksanaan LES dengan kehamilan yaitu:1,3,4

· Kehamilan dapat mempengaruhi perjalanan penyakit LES

· Plasenta dan fetus dapat menjadi target dari otoantibodi maternal sehingga dapat berakhir dengan kegagalan kehamilan dan terjadinya lupus eritemtousus neonatal.

Oleh karena itu diperlukan kerjasama yang baik antara obsterikus dan ahli penyakit dalam dalam merawat penderita LES yang hamil. Pada umumnya penderita LES mengalami fotosensitifitas, sehingga disarankan untuk tidak terlalu banyak terpapar sinar matahari. Mereka disarankan untuk menggunakan krem pelindung sinar matahari, baju lengan panjang, topi atau payung bila akan berjalan dibawah sinar matahari. Karena infeksi mudah terjadi maka penderita juga dinasehatkan agar memeriksakan diri bila mengalami demam. Pada penderita yang akan menjalani prosedur infasif diberikan antibiotika profilaksis. Modalitas utama pengobatan LES adalah pemberian kortikosteroid, anti inflamasi non steroid, aspirin, anti malaria dan imunosupresan. 1,3,11

Pemberian kostikosteroid memiliki peran yang sangat penting pada kehamilan dengan LES karena tanpa kortikosteroid sebagian besar penderita LES yang hamil akan mengalami eksaserbasi. Pemakaian kortikosteroid jangka panjang seperti prednison, prednisolon, hidrokortison pada kehamilan umumnya aman, oleh karena glukokortikoid itu segera akan mengalami inaktifasi oleh ensim 11-beta-hidroksidehidrogenase menjadi metabolik 11-keto yang inaktif, sehingga hanya 10% dari dosis yang dipakai dapat memasuki janin. Pada manifestasi klinis LES yang ringan umumnya diberikan prednison oral dalam dosis rendah 0,5 mg/kgBB/hari sedangkan pada manifestasi klinis yang berat diberikan prednison dosis 1 mg- 1,5 mg/kgBB/hari. Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau 15 mg/kgBB selama 3-5 hari dapat dipertimbangkan untuk mengganti glukokortikoid oral dosis tinggi atau pada penderita yang tidak memberikan respon pada terapi oral. Setelah pemberian glukokortikoid selama 6 minggu, maka harus mulai dilakukan penurunan dosis obat secara bertahap, 5-10% setiap minggu bila tidak timbul eksaserbasi akut. Bila timbul eksaserbasi akut dosis harus dikembalikan seperti dosis sebelumnya. Pemakaian glukokortikoid yang berkepanjangan pada waktu hamil dalam dosis tinggi dapat menyebabkan pertumbuhan janin terhambat, ketuban pecah dini, diabetes gestasional, hipertensi,dan osteoporosis.1,3,11

Pemberian imunosupresan diberikan pada penderita yang tidak respon terhadap terapi glukokortikoid selama 4 minggu. Siklofosfamid diberikan bolus intravena 0,5 gr/m2 dalam 150 cc NaCL 0,9% selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter/24 jam. Indikasi pemberian siklofosfamid adalah :1,11

· Penderita LES yang membutuhkan steroid dosis tinggi

· Penderita LES yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis tinggi

· Penderita LES yang kambuh setelah terapi steroid jangka panjang/berulang

· Glomerulonefritis difus awal

· LES dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid

· Penurunan laju filtrasi glomerulus atau peningkatan kreatinin tanpa disertai dengan aktor ekstra renal lainnya

· LES dengan manifestasi susunan saraf pusat.

Pemberian siklofosfamid pada wanita hamil tersebut tidak dianjurkan secara rutin kecuali benar benar atas indikasi yang kuat dan dalam keadaan diamana keselamatan ibu merupakan hal yang utama. Dilaporkan bahwa pemakaian siklofosfamid dalam waktu yang lama dapat menyebabkan kegagalan ovarium prematur dan kelainan bawaan pada janin. Obat imunosupresan lainnya yang cukup aman diberikan pada wanita hamil adalah azatioprin dan siklosporin. Untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya eksaserbasi pada saat persalinan atau pembedahan maka sebaiknya penderita dipayungi dengan metil prednisolon dosis tinggi sampai 48 jam pasca persalinan, setelah itu dosis obat diturunkan. Hampir semua obat untuk penderita LES diekskresikan bersama air susu dalam jumlah yang bervariasi antara 0,1%-2% dosis obat, kecuali Imunosupresan yang dikontraindikasikan untuk ibu menyusui. Pemberian aspirin dalam dosis besar (>3 gr/hari) berhubungan dengan peningkatan kejadian kehamilan posterm dan perdarahan selama persalinan. Dosis tinggi salisilat juga dilaporkan telah menyebabkan oligohidramnion, penutupan prematur dari duktus arteriosus dan hipertensi pulmonal pada neonatus. Pemakaian NSAID atau aspirin dihindari beberapa minggu sebelum persalinan. Hidroksiklorokuin juga sering dipakai dalam pengobatan LES dan sampai saat ini pemakaian obat ini cukup aman untuk wanita hamil.11

Kehamilan yang direncanakan merupakan pilihan yang paling baik untuk penderita LES yang masih menginginkan kehamilan. Kehamilan direkomendasikan setelah 6 bulan remisi. Pada kunjungan pertama antenatal dilakukan pemeriksaan lengkap tanpa memandang kondisi klinis pasien yang meliputi, pemeriksaan darah lengkap, panel elktrolit, fungsi liver, fungsi ginjal, urinalisis, antibodi anti DNA, anti bodi anti kardiolipin, antikoagulan Lupus, C3, C4 dan Anti SSA/R0 dan Anti SSB/La. Pemeriksaan laboratorium tersebut diulang tiap trimester, apabila antti SSA/Ro dan Anti SSB/La positif maka dilakukan pemeriksaan ekokardiograpi janin pada usia kehamilan 24-26 minggu untuk mendeteksi adanya blok janin kongenital. Apabila ditemukan adanya blok jantung janin kongenital maka diberikan dexametason 4 mg per-oral/hari selama 6 minggu/sampai gejala menghilang kemudian dosis diturunkan sampai lahir. Pemilihan kontrasepsi yang efektif dan aman merupakan hal yang sangat penting dalam penanganan penderita LES pasca persalinan. Kadar estrogen dalam kontrasepsi oral yang melebihi 20-30 ugr/hari dapatmencetuskan LES. Risiko tromboemboli pada penderita LES yang memakai kontrasepsi oral juga meningkat terutama apabila aPLnya positif. Kontrasepsi oral yang hanya mengandung progestogen dan depot progestogen merupakan alternatif yang lebih aman untuk penderita LES pasca persalinan. Pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) kurang baik karena dapat meningkatkan risko infeksi terutama pada penderita yang memakai imunosupresan yang lama.1,11,12

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : WMT

Umur : 32 th

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Hindu

Pekerjaan : Penenun

Alamat : Tangkup

Bangsa : Indonesia

Status Perkawinan : Menikah

Nama Suami : MM

Pekerjaan : Petani

Tanggal ANC : 2 Agustus 2010 (pkl 11.00 WITA)

Ruang : Poliklinik Kebidanan dan Kandungan

3.2 Anamnesis

Keluhan Utama

ANC

Anamnesa Umum

Pasien datang untuk melakukan ante natal care yang ke 5, pasien datang dengan keluhan jari jari bengkan pada kedua tangan dan ada plek merah pada muka. Keluhan ini semenjak 15 hari yang lalu. Keluhan dirasakan menetap tidak dipengaruhi oleh kondisi pasien. Merah muka semakin meningkat apabila pasien terkena sinar matahari. Gerak janin dirasakan masih sering, sakit perut tidak ada, keluar air tidak ada, lendir campur darah tidak ada.

Riwayat menstruasi

Penderita menstruasi pertama kali saat usia 16 tahun. Menstruasinya teratur setiap bulan dan lamanya rata-rata 3-4 hari. Pasien lupa kapan hari pertama haid terakhir.

Riwayat Pernikahan dan Persalinan

- Penderita menikah 22 tahun

- Riwayat obstetri:

Anak I perempuan aterm lahir spontan berat lahir 3000 mg ditolong bidan umur 20

Anak II perempuan aterm lahir spontan berat lahir 3000 mg ditolong bidan umur 16

Anak III perempuan aterm lahir spontan berat lahir 3100 mg ditolong bidan umur 16

Anak IV perempuan aterm lahir spontan berat lahir 3000 mg ditolong bidan umur 8

V. ini

Riwayat Ante Natal Care (ANC)

Anc pertama dilakukan di bidan tanggal 15 juni 2010 ppt tes positip . Saat memasuki usia kehamilan 25 minggu dilakukan usg didapat TP 16 oktober 2010 dengan letak sungsang.

Riwayat KB

Pasien sebelumnya menggunakan KB suntik setelah terkena SLE tahun 2006 pasien disarankan berhenti memakai KB suntik. Disarankan memakai kondom atau pantang berkala.

Riwayat Penyakit Terdahulu

Penderita memiliki riwayat penyakit SLE sejak tahun 2006 sempat sampai tidak bisa berjalan riwayat penyakit lain seperti tekanan darah tinggi, diabetes melitus disangkal asma disangkal tapi pasien sering bersih lebih dari lima kali apabila kedinginan

Riwayat Penyakit Keluarga

Dalam keluarga riwayat penyakit seperti asma, penyakit jantung, diabetes melitus disangkal

Riwayat Sosial

Pasien pekerjaanya sebagai penenun, tidak merokok ataupun minum miniman beralkohol.

3.3 Pemeriksaan Fisik

Status present:

KU : tampak sakit sedang

TD : 120/70 mmHg

N : 88 x/menit

Tax : 36,5°C

R : 20x/menit

BB : 48 kg

TB : 145 cm

Status General:

Mata : Anemia -/-

Thoraks: : Simetris (+), pembengkakan mamae (-)

Jantung : S1S2 tgl reg m(-)

Paru : Ves +/+ Rh -/- Wh -/-

Abdomen : ~ status ginekologi

Extremitas : Hangat +/+, edema -/-

Status Obstetri

Abdomen : Tampak perut membesar ke depan, disertai adanya striae gravidarum, Pada mammae tampak hiperpigmentasi areola mammae

Palpasi : Pemeriksaan Leopold didapatkan : I. Tinggi fundus setengah pusat dengan prosesus xiphoideus (24 cm). Teraba bagian bulat dan keras, kesan kepala ; II. Teraba tahanan keras di kiri (kesan punggung), dan teraba bagian kecil janin di kanan ; III. Teraba bagian bulat, lunak, dan susah digerakkan (kesan bokong) ; IV. Bagian blum masuk pintu atas panggul , nyeri tekan suprapubik (+)

Auskultasi : Denyut jantung janin terdengar paling keras sedikit di kiri umbilikus dengan frekuensi 12 12 12, his (-).

Vagina : bde

Pemeriksaan Penunjang

USG

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Diagnosis

Pasien datang untuk melakukan ante natal care yang ke 5 pada tanggal 2 Agustus 2010, pasien datang dengan keluhan jari jari bengkak pada kedua tangan dan ada plek merah pada muka. Keluhan ini semenjak 15 hari yang lalu. Keluhan dirasakan menetap tidak dipengaruhi oleh kondisi pasien. Merah muka semakin meningkat apabila pasien terkena sinar matahari. Gerak janin dirasakan masih sering, sakit perut tidak ada, keluar air tidak ada, lendir campur darah tidak ada. Penderita memiliki riwayat penyakit SLE sejak tahun 2006 sempat sampai tidak bisa berjalan. Riwayat penyakit lain seperti tekanan darah tinggi, diabetes melitus, penyakit jantung, penyakit ginjal , dan asma disangkal. Riwayat Ante Natal Care (ANC) pertama dilakukan di bidan tanggal 15 juni 2010 ppt tes positip . Saat memasuki usia kehamilan 25 minggu dilakukan USG didapat TP 16 oktober 2010 dengan letak sungsang. Pasien sebelumnya menggunakan KB suntik setelah terkena SLE tahun 2006 pasien disarankan berhenti memakai KB suntik. Disarankan memakai kondom atau pantang berkala. Dalam keluarga riwayat penyakit seperti teknan darah tinggi, asma, penyakit jantung, penyakit ginjal, dan diabetes melitus disangkal. Pasien pekerjaanya sebagai penenun, tidak merokok ataupun minum minuman beralkohol. Namun pasien mengaku sering terpapar sinar matahari.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan status present dan status generalnya dalam batas normal. Pada pemeriksaan (inspeksi) di daerah wajah terlihat ada bercak kemerahan di daerah malar. Pada daerah jari-jari tangan (mid interphalang joint) ditemukan terdapat pembengkakan pada semua persendian jari.

Pada pasien tersebut, pada anamnesis jelas didapatkan adanya keluhan flek pada wajah dan pembengkakan pada persendian jari-jari tangan hingga sulit digerakkan. Pasien juga mengaku jikan terpapar sinar matahari maka flek pada wajahnya akan bertambah. Berdasarkan data anamnesis tersebut, maka dapat dipikirkan adanya kecurigaan terhadap gejala SLE. Pada kasus ini, setelah dilakukan pemeriksaan fisik baik itu inspeksi dan palpasi didapatkan adanya ruam malar dan ruam discoid di daerah wajah. terdapat pembengkakan pada semua mid interphalang joint. Diagnosis SLE dapat ditegakkan berdasarkan gambaran kinik dan laboratorium. American Collage of Rheumatology (ACR), mengajukan 11 kriteria untuk mengklasifikasikan LES, dimana biala didapatkan 4 kriteria saja diagnosis LES sudar dapat ditegakkan. Pada pasien ini sudah ditemukan 4 kriteria, yaitu ruam malar, ruam discoid, arthritis, dan adanya fotosinsitif.

Kemungkinan lainnya yang harus disingkirkan adalah arthritis rematoid d. Pada arthritis rematoid didapatkan kekauan sendi pada pagi hari. Namun pada pasian ini tidak terdapat hal yang demikian. untuk dapat memastikan dapat dilakukan pemeriksaan penunjang dengan memeriksa factor rematoid. Pada arthritis rematoid didapatkan faktorn rematoid yang positif

4.2 Faktor predisposisi atau etiologi

Mekanisme pasti yang bertanggungjawab atas peristiwa LES tidak selalu tampak jelas. Berdasarkan anamnesis penyebab terjadinya LES pada pasien ini kemungkinan disebabkan karena adanya paparan sinar matahari dan faktor stress fisik dan psikologis. Hal ini didapatkan dari anamnesis bahwa pasien sebelum sering mengalami paparan sinar matahari karena pasien juga bekerja sebagai petani. Pasien sering mengalami kelelahan karena bekerja sebagai penenun dan petani. Karena keadaan sosial ekonomi yang kurang, ketika mengandung anak keempat pasien sering mengalami stress begitu juga saan kehamilan ini (anak kelima).

4.3 Penatalaksanaan

Pada kasus ini pasien sebelum kehamilan yang kelima pasien sudah mengalami remisi atau fase tenang ± 6 bulan sehingga angka morbiditas dan mortalitas baik pada ibu dan janin berkurang. Pada kasus ini pasien mengalami fotosensitivitas sehingga disarankan untuk tidak terlalu banyak terpapar sinar matahari. Pasien disarankan menggunakan pelindung sinar matahari seperti baju lengan panjang, topi, dan payung jika akan berjalan di bawah terik matahari. Modalitas utama dalam pengobatan LES adalah pemberian kortokosteroid, antiinflamasi nonsteroid, aspirin, antimalaria, dan imunosupresan. Pemberian kortikosteroid memiliki peran yang sangat penting pada kehamilan, karena tanpa kortikosteroid sebagian besar penderita LES akan mengalami eksaserbasi. Pada pasien ini diberikan prednisone sebagai krtikosteroid oral.

Selain pemberian obat, pemilihan kontrasepsi yang tepat juga tidak kalah pentingnya. Pemilihan kontasepsi yang efektif dan aman merupakan hal yang sangat penting dalam penanganan penderita LES pasca persalinan. Pemakaian kontrasepsi oral yang hanya mengandung progestogen dan depot progestogen merupakan alternative yang lebih aman untuk penderita LES pasca persalinan, karena kadar estrogen dalam kontrasepsi oral yang melebihi 20-30 mikrogram per hari dapat mencetuskan LES. Pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) kurang baik karena dapat meningkatkan risiko infeksi terutama pada penderita yang memakai imunosupresan yang lama. Penyuluhan dan intervensi psikososial juga sangat penting dalam penanganan LES. Penyuluhan dapat berupa menghindari paparan sinar matahari, pemakaian obat, kehamilan, pemakaian alat kontrasepsi, terapi fisik dan diet.

4.4 Prognosis

Tidak ada kesembuhan bagi LES dan remisi komplit yang menetap jarang terjadi karena LES merupakan penyakit autoantibodi yang menyerang sel-sel tubuh yang memiliki inti sel. LES akan meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas pada janin baik itu abortus rekuren maupun kematian janin. Karena penderita sudah mengalami remisi lebih dari 6 bulan sebelum kehamilan kelima ini maka risiko eksaserbasi pada saan hamil akan berkurang, yaitu 25% dan 90% akan mengalami luaran yang baik.

BAB V

RINGKASAN

LES adalah penyakit autoimun yang menyebabkan kondisi inflamasi kronik. Inflamasi yang dipicu SLE mengenai banyak organ dalam tubuh, termasuk kulit, sendi, ginjal, paru, dan sistim saraf. Wanita, khususnya Amerika-afrika dan Asia paling berisiko tinggi berkembang LES. Gejala yang paling sering muncul adalah nyeri sendi, kemeraha pada kulit, dan demam. Gejala bisa timbul perlahan atau muncul tiba-tiba. Sebagian besar LES mempunyai eksaserbasi gejala. Diagnosis LES ditegakkan berdasarkan kriteria ACR 1997 apabila memenuhi 4 dari 11 kriteria yaitu: ada tidaknya ruam malar, ruam diskoid, fotosensitivitas, ulkus mulut, artritis non erosif, pleuritis atau perikarditis gangguan renal, gangguan neurologi, gangguan hematologik, gangguan imunologik, dan adanya ANA (antinuclear antibody). Tidak ada pengobatan yang dapat menyembuhkan LES tapi barmacam obat dapat mengontrol gejala dan mengatasi ketidaknyamanan. Pemilihan obat bergantung pada derajat keparahan penyakit. Pasien dengan LES ringan dapat diatasi dengan NSAID sedangkan pasien dengan LES sedang sampai berat diatasi dengan kortikosteroid atau imunosupresan.

Saat ini penderita didiagnosa dengan SLE dengan kehamilan. terapi yang diberikan terutam untuk mencegah eksaserbasi selama kehamilan sehingga morbiditas dan mortalitas terhadap ibu dan bayi dapat dikurangi. Pasien ini mendapat terapi prednisone serta KIE bagaimana cara mengurangi paparan sinar matahari dan pemilihan kontrasepsi yang tepat sehingga eksaserbasi pasa saat masa kehamilan maupun pasca persalinan dapat dikurangi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Isbagio, Harry; Albar, Zuljasri; Kasjmir, Yoga I; Setiyohadi, Bambang. Lupus Eritematosus Sistemik. In: Sudoyo, Aru W, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006. hal 1224 – 1231

2. Albar S. Lupus eritematosus sistemik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I, edisi Ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 1996.p.150-60.

3. Lipsky PE, Diamond B. Systemic autoimmune disease. Harrisons Principle of Internal Medicine. 15th ed. New York: Mc Graw Hill; 2001.p.1842- 3.

4. Nasution AR,Kasjmir YI, masalah penyakit lupus eritematosus sistemik (LES) si RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Simposium Nasional I Sistemic lupus Eryhematosus. Jakarta 1995

5. Kalim H, Handono K. Gambaran klinik dan harapan hidup penderita lupus Eryhematosus sistemik (SLE) pada orang jawa di RSUD Dr. saiful anwar Malang, 1985-1994. Simposium Nasional I Sistemic Lupus Erythematosus Jakarta,1995

6. Setyohadi B. Penatalaksanaan lupus eritematosus sistemik. Temu lmiah Rematologi, 2003;154-8.

7. Sumaryono. Spektrum autoantibodi pada LES dan hubungannya dengan gambaran klinik. Temu Ilmiah Rematologi 2003;149-53.

8. Baratawidjaya KG. Aspek imunologis dan peranan pemeriksaan autoantibodi pada lupus eritematosus sistemik. Maj Kedok Indones 1996; 46: 383-384

9. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gillstrapp III LC, Hanth JC, Wenstrom KD. Connective tissue disorders. William Obstetrics. 22nd ed. New York: Mc Graw Hill; 2005.p.1211-4.

10. Lahita RG. Clinical presentation of sistemic lupus erythematosus. In: Kelley WN, harris ED, Ruddy S,Sledge CB. Textbook of rheumatology. 2nd ed. Philadelphia. W.B. Saunders Company, 1985; 1029-39

11. Mok CC, Wong RWS. Pregnancy in systemic lupus erythematosus. Postgrad Med JR 2001.

12. Handa R, Kumar U, Wali JP. Systemic lupus eristhematosus and pregnancy. JAPI 2006;54:235-8.